Muhammadiyah menganggap persoalan Hagia Sophia urusan internal Turki

id Hagia sophia,Turki,Muhammadiyah

Muhammadiyah menganggap persoalan Hagia Sophia urusan internal Turki

Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto di Kantor PP Muhammadiyah, Di Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, Jumat. (ANTARA/Luqman Hakim)

Yogyakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat Muhammadiyah memandang keputusan Presiden Turki Tayyip Erdogan menetapkan monumen era Bizantium Hagia Sophia menjadi masjid sebagai urusan internal negara itu.

"Itu kan problem dalam negeri Turki ya," kata Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto di Kantor PP Muhammadiyah, di Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, Jumat.

Agung berpendapat jika Hagia Sophia dalam sejarahnya merupakan wakaf dari pemimpin Turki Usmani Muhammad al-Fatih atau Mehmet II yang mengalihfungsikan dari gereja menjadi masjid di wilayahnya, maka kewajiban penerusnya untuk menjaga wakaf itu.

"Kewajiban periode berikutnya untuk menjaga agar sesuai dengan wakafnya," ucap dia.



Namun demikian, menurut Agung, tidak ada salahnya pula jika Hagia Sophia tetap dipertahankan sebagai museum dan terbuka untuk semua golongan agama seperti sedia kala. "Saya kira kalau tetap dipertahankan itu juga baik," ujarnya.

Meskipun kini telah diubah statusnya menjadi masjid, Ia juga merespons baik keputusan Pemerintah Turki yang dalam perkembangannya akan tetap membuka Hagia Sophia bagi pengunjung dari berbagai latar belakang agama.

"Kalau seperti itu tidak terlalu jauh menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran agama," kata dia.

Pengamat Timur Tengah Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati mengatakan pada masa kekuasaan Turki Usmani di bawah Muhammad al-Fatih atau Mehmet II, Hagia Sophia yang dibangun sebagai gereja oleh Kaisar Bizantium, diubah fungsinya menjadi masjid.

Setelah Turki dipimpin Mustafa Kemal Ataturk, Hagia Sophia kemudian berubah menjadi museum pada 1934.



Menurut Mutiah, kendati banyak protes dari sejumlah negara, upaya yang ditempuh Erdogan legal karena bangunan itu berada di wilayah Turki. Apalagi, Pengadilan Tinggi Turki juga telah membatalkan dekrit Kabinet 1934 yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum.

"Itu di wilayah teritori Turki. Mestinya Erdogan memang punya wewenang," kata Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM ini.

Mutiah menilai upaya pengubahan Hagia Sophia menjadi masjid adalah untuk memperoleh legitimasi politik dari akar rumput masyarakat Turki yang mayoritas Muslim.

Lebih dari itu, ia menduga Erdogan justru berusaha membuat sesuatu yang bisa dikenang oleh rakyat Turki pada masa akhir kepemimpinannya.

"Kan orang itu ada masa puncak kejayaan. Jadi saya kira Erdogan sudah pada puncaknya. Dia ingin meninggalkan sesuatu bagi rakyatnya," tuturnya.