Perajin tahu Kulon Progo tetap berproduksi meskipun harga kedelai mahal

id Perajin tahu,Kulon Progo,Tuksono,Sentra tahu

Perajin tahu Kulon Progo tetap berproduksi meskipun harga kedelai mahal

Perajin tahu di Desa Tuksono, Kabupaten Kulon Progo, sedang menggoreng tahu. (Foto ANTARA/Sutarmi)

Kulon Progo (ANTARA) - Perajin tahu di Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetap bertahan memproduksi tahu meskipun harus mengurangi ukuran tahu untuk menyikapi tingginya harga kedelai impor yang mencapai Rp10.200 per kilogram sejak dua minggu terakhir.

"Kami terpaksa memperkecil ukuran tahu. Itu pun kami tidak menghitung biaya tenaga produksi. Kami hanya berfikir supaya balik modal dan tetap bisa berproduksi," kata perajin tahu Desa Tuksono Wasiyem di Kulon Progo, Minggu.

Ia mengakui sejak Oktober 2020, dirinya mengurangi ukuran tahu. Saat itu, harga kedelai masih berkisar Rp9.200 per kilogram. Saat ini, harga kedelai impor sudah Rp10.200 per kilogram. Awalnya, konsumsen tahu banyak yang komplain karena ukuran kecil dan dianggap mahal.

"Seiring waktu, konsumen tahu sudah mengetahui harga kedelai sangat tinggi, sehingga tidak ada protes lagi," katanya.

Meski harga kedelai mahal, Wasiyem mengatakan dirinya setiap hari memproduksi tahu dengan menghabiskan 70 kilogram kedelai. Keuntungan yang didapat dari ampas atau sisa produksi yang bisa dijual kepada pemilik ternak sapi.

"Penjualan ampas bisa untuk membeli kayu bakar, sehingga bisa menutup biaya produksi yang dikeluarkan, meski biaya tenaga sudah tidak dihitung karena dikerjakan sendiri," katanya.

Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kulon Progo Dewantoro mengatakan perajin tahu di Kulon Progo, khususnya di sentra industri tahu di Desa Tuksono semua masih bertahan produksi.

Ia memahami perajin tahu mengurangi ukuran tahu supaya dapat bertahan. Selain itu, untuk mensiasati konsumen tetap membeli tahu dengan jumlah yang sama, dengan ukuran yang lebih kecil.

"Dengan kondisi harga kedelai, dan kondisi pandemi COVID-19, kami bisa memahaminya. Yang terpenting mereka bisa bertahan berproduksi," katanya.

Ia mengakui pihaknya mendapat laporan ada beberapa perajin tempe berskala kecil tidak memproduksi tempe sejak harga kedelai naik di atas Rp9.000 per kilogram. Tingginya harga kedelai tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan, sehingga mereka memilih tidak berproduksi.

"Ambang batas harga kedelai bagi perajin tahu dan tempe itu pada kisaran Rp7.000 hingga Rp7.500 per kilogram. Kalau harga kedelai sudah di atas itu, tentu berdampak pada kemampuan berproduksi dan bertahan dengan kondisi yang ada," katanya.

Mensikapi hal itu, Disperindag Kulon Progo tidak bisa berbuat banyak karena harga kedelai mengikuti harga pasar. Selain itu, kedelai tidak masuk komoditas kebutuhan pokok, sehingga tidak ada campur tangan dari pemkab.

"Kami hanya bisa memantau perajin tahu supaya tetap bertahan," katanya.