Sosiolog: Tarik ulur kepentingan terjadi setiap rencana kenaikan cukai hasil tembakau

id tembakau

Sosiolog: Tarik ulur kepentingan terjadi setiap rencana kenaikan cukai hasil tembakau

Sosiolog UGM AB Widyanta (ANTARA/HO-Asmara UGM)

Yogyakarta (ANTARA) - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta mengatakan tarik ulur kepentingan selalu terjadi setiap ada rencana kenaikan cukai hasil tembakau meliputi rezim kesehatan dunia, korporasi global, negara, korporasi nasional, distributor, reseller, buruk pabrik rokok, petani tembakau, dan petani cengkeh.

"Nicotiana Tobacum L. telah menjadi arena pertarungan kuasa yang akan senantiasa mengontestasikan berbagai strategi yang kompleks melalui perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Kontestasi kuasa itu akan senantiasa mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus," katanya dalam diskusi publik secara daring, Rabu malam.

Dalam diskusi publik "Potret Kebijakan Ekonomi Politik di Sektor Pertembakauan" yang diselenggarakan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UGM (Asmara UGM), Widyanta mengatakan pemerintah mengambil ancang-ancang kenaikan cukai hasil tembakau pada 2022 mendatang sebesar 10 persen.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pemerintah memperkirakan pendapatan cukai akan meningkat menjadi Rp203,9 triliun atau sekitar 12 persen dari penerimaan cukai 2021 yang diperkirakan mencapai Rp182,2 triliun.

"Namun, temuan kajian PSPK UGM menunjukkan rendahnya tingkat efektivitas penyaluran DBHCHT. Para penerima manfaat dari DBHCHT kurang atau bahkan tidak merasakan manfaat secara nyata dan merata. Jika ada yang merasakan manfaat, manfaat itu sangat kecil," kata pengajar sosiologi UGM itu.

Berdasarkan kajian PSPK UGM tentang Efektivitas DBHCHT dapat disimpulkan bahwa efektivitas Penggunaan DBHCHT sangat rendah. Kalaupun secara formal dana sudah sampai ke kelompok sasaran, tetapi kurang memberikan prioritas kepada kelompok sasaran yang selayaknya berhak dan membutuhkan misalanya golongan petani, buruh, pedagang kecil, dan pabrik rokok.

"Program tersebut dinilai tidak mengangkat kesejahteraan para petani, buruh dan pedagang kecil dan meningkatkan produksi pabrik kecil. Implementasi DBHCHT harus mengoptimalkan prinsip 'Keadilan dan Pemerataan' terutama kepada para petani tembakau, petani cengkeh, pedagang kecil, buruh pabrik rokok, dan pabrik-pabrik kecil penghasil produk-produk hasil tembakau," katanya.