Yogyakarta (ANTARA) - Ketimpangan pembangunan manusia berdasarkan jenis kelamin masih menjadi tantangan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa disparitas antara laki-laki dan perempuan di beberapa daerah DIY, terutama di Kabupaten Gunungkidul, masih mencolok.
Kota Yogyakarta kembali mencatatkan skor IPM tertinggi dengan angka 89,30 untuk laki-laki dan 88,09 untuk perempuan. Sementara di Gunungkidul mencatatkan skor IPM terendah, yaitu 77,64 untuk laki-laki dan 67,38 untuk perempuan, dengan selisih lebih dari 10 poin.
Meskipun Gunungkidul masih tertinggal, kabupaten ini menunjukkan tren positif dengan peningkatan IPM selama tiga tahun terakhir. IPM perempuan di Gunungkidul misalnya naik dari 66,05 pada 2023 menjadi 67,38 pada 2024.
Sementara itu, IPM laki-laki mengalami kenaikan dari 77,21 menjadi 77,64. Meskipun pertumbuhannya stabil, laju kenaikan ini masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan daerah lain.
Untuk wilayah Sleman menunjukkan kemajuan pesat, mendekati capaian Kota Yogyakarta. Pada 2024, IPM laki-laki Sleman tercatat 87,27, sementara perempuan mencapai 85,38.
Sleman berhasil mengurangi kesenjangan gender dengan keberhasilan program inklusif yang dijalankan oleh pemerintah daerah.
Sementara Kabupaten Bantul dan Kulon Progo juga mengalami pertumbuhan, meski perbedaan IPM perempuan di Kulon Progo masih signifikan. IPM perempuan di Kulon Progo tercatat di angka 75,80, meskipun meningkat setiap tahunnya. Meskipun terdapat perbedaan antara daerah-daerah di DIY, peningkatan bertahap ini menunjukkan bahwa ada perbaikan menuju pemerataan pembangunan manusia.
Data tersebut menjadi pengingat meskipun DIY dikenal sebagai provinsi dengan indeks pembangunan tinggi, ketimpangan gender masih memerlukan perhatian serius. Pemerataan akses terhadap pendidikan dan kesehatan serta pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi kunci agar pembangunan manusia di DIY dapat benar-benar inklusif.