Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung (Kejaksagung) mengungkapkan bahwa pemberian kredit oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) serta PT Bank DKI kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk. dilakukan tanpa mematuhi aturan yang berlaku.
Temuan ini mencuat setelah penyidik Kejaksaan Agung meneliti laporan keuangan perusahaan yang memiliki masalah besar di tahun 2021.
Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengungkapkan dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Rabu (20/5), bahwa PT Sritex mencatatkan kerugian hingga 1,08 miliar dolar AS (sekitar Rp15,66 triliun) pada 2021. Padahal, pada 2020, perusahaan tersebut masih mencatatkan keuntungan sebesar 85,32 juta dolar AS (Rp1,24 triliun).
“Ini ada keganjilan. Dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, namun tahun berikutnya justru terjerumus ke kerugian yang luar biasa,” kata Qohar.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa Sritex dan anak perusahaannya memiliki kredit dengan total tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp3,59 triliun, yang terdiri dari pinjaman dari Bank Jateng, Bank BJB, Bank DKI, serta sindikasi dari Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI. Dari jumlah tersebut, Bank BJB dan Bank DKI memberikan kredit senilai Rp692,98 miliar kepada PT Sritex.
Baca juga: Kejagung tetapkan tiga tersangka kasus korupsi di Sritex
Qohar menjelaskan bahwa pemberian kredit tersebut melanggar prosedur hukum. “Kedua tersangka, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI pada 2020, dan DS, Pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB, telah memberikan kredit tanpa analisis yang memadai,” katanya. Salah satu indikasi kelalaian ini, menurutnya, adalah peringkat kredit PT Sritex yang hanya BB- berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s, yang menunjukkan risiko gagal bayar yang tinggi.
Qohar juga menambahkan, “Seharusnya, kredit diberikan kepada perusahaan dengan peringkat A, sesuai dengan ketentuan standar operasional prosedur (SOP) bank dan Undang-Undang Perbankan.”
Penyidik mengungkapkan bahwa dana kredit yang diberikan oleh Bank BJB dan Bank DKI tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya. Iwan Setiawan Lukminto (ISL), Direktur Utama PT Sritex sejak 2005 hingga 2022, disebut telah menyalahgunakan dana tersebut untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, bukan untuk modal kerja sebagaimana seharusnya.
Baca juga: Kejagung periksa 55 saksi kasus korupsi Sritex dan tetapkan tiga tersangka
Saat ini, kredit yang diberikan kedua bank tersebut telah masuk dalam status macet dengan kolektibilitas 5, sementara aset perusahaan tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara karena nilainya yang lebih kecil. Akibatnya, PT Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Akibat tindakan melawan hukum ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp692,98 miliar dari total tagihan yang belum dilunasi yang mencapai Rp3,59 triliun.
Ketiga tersangka yang terlibat dalam kasus ini kini dijerat dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kejagung: Pemberian kredit oleh 2 bank ke Sritex tak sesuai aturan