Yogyakarta (ANTARA) - Yogyakarta, selain dikenal sebagai kota budaya dan pendidikan, juga merupakan surga kuliner yang sarat makna sejarah dan di tengah jajaran kuliner legendaris, ada satu sajian khas yang tidak hanya menyajikan rasa lezat, tetapi juga membawa jejak panjang dalam sejarah gastronomi Nusantara: Gudeg Manggar.
Bahan utama dalam sajian ini adalah bunga kelapa muda, atau yang dikenal dengan nama manggar. Berbeda dengan gudeg nangka yang manis dan lembut, Gudeg Manggar menyajikan cita rasa yang lebih gurih dan padat, dengan tekstur yang kaya.
Sajian ini berasal dari masa Kerajaan Mataram Islam, di mana Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati, menciptakan hidangan ini sebagai alternatif bahan pangan.
Memanfaatkan bunga kelapa yang tumbuh subur di daerah Mangir, Sekar Pembayun berhasil menciptakan hidangan yang kemudian dikenal dengan nama Gudeg Manggar.
Gudeg Manggar, meskipun tidak sepopuler gudeg nangka, menyimpan nilai budaya yang sangat tinggi. Keberadaannya diyakini muncul dari kebiasaan budaya kerajaan pada masa itu, dan terus hidup sebagai warisan yang masih dinikmati hingga kini.
Baca juga: Mengenal gudeg, kuliner khas yang usianya setua Yogyakarta
Baca juga: Kraton Yogyakarta, Jantung budaya Jawa yang tak pernah padam
Nama gudeg sendiri berasal dari kata "hangudeg" yang berarti mengaduk, melambangkan proses panjang dan penuh kesabaran dalam memasak yang sangat dijunjung dalam budaya Jawa.
Pada tahun 2021, Gudeg Manggar mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengakuan ini semakin mempertegas bahwa kuliner legendaris ini bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Yogyakarta.
Tak hanya itu, Gudeg secara keseluruhan telah lebih dahulu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda sejak 2015, memperkuat posisi kuliner ini sebagai ikon budaya yang diakui secara nasional.
Perbedaan rasa antara Gudeg Manggar dan Gudeg Nangka terletak pada karakteristiknya. Jika Gudeg Nangka identik dengan manisnya santan, Gudeg Manggar lebih mengutamakan rasa gurih dan tekstur yang lebih padat.
Mengingat ketersediaan manggar yang terbatas, kuliner ini menjadi semakin langka dan bernilai tinggi, menjadikannya sangat istimewa bagi para penikmat kuliner sejati.
Baca juga: Disperindag DIY berencana mengekspor gudeg ke Arab Saudi
Seiring dengan berkembangnya waktu, Gudeg tidak hanya dikenal sebagai hidangan basah berkuah santan, tetapi juga telah berevolusi menjadi variasi kering yang lebih tahan lama, menjadikannya cocok sebagai oleh-oleh.
Dalam catatan sejarah, Gudeg sudah tercatat dalam Serat Centhini, sebuah naskah sastra klasik abad ke-19 yang menggambarkan hidangan ini dalam berbagai perjamuan istana.
Gudeg dapat dengan mudah dijumpai di berbagai sudut Yogyakarta, terutama di kawasan Wijilan dan Barek yang terkenal dengan pusat kuliner Gudeg. Nama-nama seperti Gudeg Yu Djum, Gudeg Bu Slamet, dan Gudeg Bu Tjitro telah menjadi legenda, mempertahankan keaslian rasa dan tradisi memasak Gudeg yang turun-temurun.
Baca juga: Sha Ine Febriyanti pergi ke "Kota Gudeg" demi "Budi Pekerti"
Pelestarian Gudeg Manggar juga tidak lepas dari peran komunitas kuliner dan rumah makan yang terus menjaga kelestariannya. Paguyuban Gudeg Wijilan dan rumah makan seperti Gudeg Manggar Luweng Kayu di Sleman, misalnya, berkomitmen untuk merawat warisan kuliner yang bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyimpan kenangan, sejarah, dan identitas bangsa.
Jika New York dikenal dengan julukan Big Apple dan Jakarta dengan Big Durian, maka Yogyakarta dengan segala kekayaan kuliner dan sejarahnya, sangat pantas menyandang predikat Big Jackfruit, tanah kelahiran Gudeg yang manis, penuh makna, dan mendunia.
Gudeg Manggar tidak sekadar makanan, tetapi juga sebuah jendela menuju sejarah yang kaya dan kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Sebuah warisan budaya yang semakin menambah pesona Yogyakarta sebagai pusat kuliner legendaris Indonesia.
Baca juga: Tiga warisan Bantul ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia