Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan, peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga, terutama soal aspek fisik dan teknis pembangunan lembaga pendidikan. Ia menyoroti banyak pesantren yang dibangun swadaya tanpa pengawasan teknis memadai, termasuk Al-Khoziny.
“Kita semua perlu introspeksi. Harapannya, seluruh konstruksi baik di pesantren maupun non-pesantren mengikuti aturan demi keselamatan bersama,” ujarnya.
Ahli konstruksi kini meneliti reruntuhan. Hasil awal menunjukkan adanya kesalahan struktur; beban lantai atas tidak seimbang dengan daya dukung tiang penyangga. Tekanan berlebih dari aktivitas pembangunan lantai atas sebelum kejadian diduga mempercepat ambruknya bangunan.
Tragedi ini menyoroti lemahnya pengawasan pembangunan, khususnya di lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Banyak pesantren dibangun dengan semangat swadaya, tapi tanpa pendampingan teknis. Niat baik menyediakan ruang belajar justru berujung bencana bila standar keselamatan diabaikan.
Baca juga: Menko PM dan Menko PMK sepakati dua langkah cegah ponpes ambruk
Enam hari pasca-peristiwa, korban terus bertambah. Hingga Sabtu (4/10) malam, total korban mencapai 124 orang: 104 selamat, 20 meninggal dunia, 15 di antaranya belum teridentifikasi, sementara 48 lainnya masih tertimbun. Ambulans hilir-mudik membawa korban ke rumah sakit di Sidoarjo, Surabaya, hingga Mojokerto.
Namun, di balik duka, ada solidaritas yang tumbuh terjaga. Relawan dari berbagai daerah berdatangan. Mahasiswa, organisasi masyarakat, hingga kelompok lintas iman ikut membantu. Dapur umum didirikan, bantuan logistik terus mengalir, dan doa untuk keselamatan tak henti dipanjatkan dari masjid-masjid di Jawa Timur.
Baca juga: Operasi SAR Ponpes Al Khoziny masuk tahap evakuasi korban meninggal
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan duka mendalam sekaligus menyerukan agar tragedi ini menjadi momentum perbaikan. Ia memastikan seluruh biaya pengobatan ditanggung pemerintah, dan proses identifikasi korban meninggal dikawal tim forensik kepolisian.
Tragedi Buduran pada akhirnya bukan sekadar kisah tentang bangunan yang runtuh. Ia adalah tentang tanggung jawab karena ada nyawa muda yang mestinya terlindungi, serta tentang rapuhnya aturan-pengawasan pembangunan pesantren.
Agaknya tidak ada jawaban tunggal untuk siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Akan tetapi, hal terpenting adalah tragedi ini melahirkan harapan bahwa pemerintah akan lebih tegas mengawasi izin mendirikan bangunan. Setiap pesantren akan mendapat pendampingan teknis, sehingga santri dapat belajar dengan tenang tanpa rasa takut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Langit runtuh Buduran
