Jakarta (ANTARA) - Di saat banyak pengamat ekonomi meramalkan kelesuan konsumsi ketika ketidakpastian global meningkat, muncul paradoks baru: generasi muda atau Gen Z yang menunjukkan kecenderungan menghabiskan uang lebih, sebuah fenomena yang populer disebut doom spending.
Istilah ini memotret perilaku konsumtif yang lahir dari rasa tidak menentu terhadap masa depan; alih-alih menabung banyak untuk jaminan kelak, sebagian orang memilih "menikmati hari ini" sebagai bentuk pelampiasan, penghiburan, atau pernyataan identitas.
Fenomena itu tidak hanya soal psikologi individu. Dalam skala makro, dorongan pengeluaran ini memberi napas baru pada rantai nilai ekonomi yang menyuntikkan permintaan ke sektor riil, digital, dan kreatif yang sedang tumbuh.
Doom spending adalah perilaku konsumsi berlebihan atau impulsif ketika individu merasa masa depan suram atau penuh ketidakpastian. Ini berbeda dari konsumsi normal karena motifnya lebih kuat terkait pelarian emosional, coping terhadap stres, atau mencari kepuasan instan di tengah kecemasan kolektif.
Gen Z sebagai generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an adalah generasi yang paling sering dikaitkan dengan pola ini karena kombinasi beberapa faktor: keterpaparan informasi (seringkali negatif) lewat media sosial; ketidakpastian pekerjaan dan karier di era disrupsi; beban biaya hidup di kota besar; serta budaya digital yang memfasilitasi belanja cepat.
Penjelasan ini didukung oleh kajian McKinsey internasional yang menemukan Gen Z lebih rentan melakukan doom spending dibanding kelompok usia yang lebih tua.
Namun demikian, banyak juga Gen Z yang menerapkan strategi finansial kreatif yaitu sebagian mempraktikkan “loud budgeting”, “soft savings”, atau menabung lewat investasi kecil sehingga akhirnya tren doom spending yang terjadi muncul berdampingan dengan literasi baru.
Untuk itu diperlukan penguatan literasi yang memadai mengenai instrumen dan pilihan agar menikmati hari ini tanpa mengorbankan masa depan. Dengan demikian, Gen Z bukan hanya konsumen impulsif yang menambah angka penjualan, tetapi mereka bisa menjadi agen perubahan ekonomi yang mendorong inovasi, memperkaya budaya usaha lokal, dan membantu bangsa melewati ketidakpastian dengan daya tahan yang lebih baik..
Baca juga: Gen Y dan Z punya peran strategis dalam transformasi digital layanan pertanahan
Wujud di Indonesia
Di Indonesia, tren doom spending Gen Z terlihat dalam beberapa pola nyata antara lain tingginya frekuensi konsumsi pengalaman yang dilakukan pada saat kuliner, menghabiskan waktu di kafe, menonton konser dan traveling, serta belanja fesyen dan streetwear, pembelian gadget terbaru, hingga langganan layanan digital (streaming, game, konten berbayar).
Platform e-commerce, layanan pengiriman makanan, dan fintech paylater menjadi saluran utama realisasi pengeluaran ini.
OJK mencatat kenaikan signifikan pada pembiayaan paylater sebagai salah satu indikator bahwa fasilitas kredit konsumsi digital tumbuh pesat dan banyak digunakan konsumen muda.
Pada Maret 2025 Tech in Asia juga melaporkan pembiayaan paylater tercatat naik 39,3 persen yoy menjadi sekitar Rp8,22 triliun (setara 497 juta dolar AS), sebuah sinyal bahwa kemampuan atau kecenderungan untuk menunda pembayaran memfasilitasi doom spending.
Analisis tren e-commerce & payments 2025 oleh Payments Intelligence menegaskan bahwa Indonesia mengalami percepatan digital payments yang mendorong kemudahan transaksi sebagai sebuah prasyarat penting agar doom spending bisa tereksekusi dalam skala besar. Infrastruktur pembayaran yang mudah membuat pembelian impulsif menjadi lebih cepat dan resistif terhadap rem tradisional.
Laporan komprehensif tentang Gen Z Indonesia (survei 2024–2025 oleh medium riset lokal) menampilkan bagaimana preferensi belanja Gen Z dipengaruhi oleh harga, promo, dan narasi di media sosial, semua faktor yang memodulasi doom spending. Hasil-hasil studi akademik lokal juga mengaitkan literasi keuangan, interaksi media sosial, dan gaya hidup sebagai variabel yang memperkuat perilaku belanja impulsif.
Di sisi lain, hasil survei nasional OJK-BPS pada 2024 justru menunjukkan bahwa peningkatan tren doom spending karena akses ke layanan yang relatif luas belum diikuti oleh literasi yang memadai sehingga memunculkan sebuah celah di mana perilaku konsumtif bisa berkembang tanpa mitigasi yang tepat.
Dampak Terhadap Ekonomi
Tren doom spending yang terjadi tidak selalu harus dimaknai sebagai fenomena negatif, sebab dari sudut pandang perekonomian makro, perilaku konsumsi termasuk konsumsi yang lahir dari dorongan psikologis akibat ketidakpastian masa depan merupakan salah satu pilar utama penggerak pertumbuhan domestik.
Ketika Generasi Z memilih untuk membelanjakan pendapatan mereka pada kafe yang sedang tren, menghadiri berbagai event hiburan, membeli fesyen lokal, berlangganan aplikasi kreatif, hingga menggunakan layanan digital yang semakin beragam, maka aktivitas-aktivitas ini menciptakan efek berantai dalam roda perekonomian.
Permintaan yang meningkat secara langsung mendorong produsen barang dan penyedia jasa untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Hal ini pada gilirannya memperluas pasar bagi UMKM dan industri kreatif yang sering kali menjadi pemain utama dalam memenuhi kebutuhan gaya hidup Gen Z.
Pendapatan para pelaku usaha tersebut pun naik, membuka ruang untuk perekrutan tenaga kerja baru dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Tidak berhenti di sana, konsumsi yang tercatat melalui saluran formal juga menambah penerimaan negara dari sisi pajak dan retribusi.
Lebih jauh lagi, selera Gen Z yang dinamis dan cenderung cepat berubah memaksa pelaku industri untuk terus berinovasi dalam produk maupun layanan yang ditawarkan.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan basis konsumsi domestik yang besar, fenomena ini menjadi penting karena segmen Gen Z mampu menjaga denyut nadi konsumsi di saat permintaan luar negeri melemah atau arus investasi belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, doom spending justru dapat berfungsi sebagai bantalan permintaan jangka pendek yang membantu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional
Namun demikian, di balik geliat positifnya, doom spending juga menyimpan sisi rapuh yang tidak boleh diabaikan. Perilaku konsumsi yang dipicu oleh keresahan dan kecemasan, bila tidak dibarengi dengan literasi finansial yang memadai serta ketersediaan produk pasar yang bertanggung jawab, berpotensi menjerumuskan generasi muda pada berbagai persoalan.
Salah satu risiko yang paling nyata adalah penumpukan utang konsumtif akibat penggunaan kartu kredit, fasilitas paylater, maupun skema cicilan tanpa perencanaan matang. Situasi ini dapat menggerus tingkat tabungan pada kelompok usia produktif, sehingga kapasitas investasi rumah tangga berkurang dan daya tahan mereka terhadap guncangan ekonomi melemah.
Lebih jauh lagi, ketika konsumsi dijadikan mekanisme pelarian sesaat dari tekanan mental, justru muncul ancaman baru berupa memburuknya kesehatan psikologis saat realitas finansial tidak mampu mengimbangi gaya hidup yang dijalani. Tidak sedikit pula potensi kredit macet yang mengintai, terutama pada skema pembiayaan paylater, jika pertumbuhannya tidak diiringi evaluasi risiko yang ketat dan program edukasi konsumen yang memadai.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan secara kolektif, risiko-risiko ini bukan hanya menjadi beban individu, melainkan bisa menimbulkan tekanan sosial-ekonomi yang lebih luas. Karena itu, fenomena doom spending menuntut adanya kebijakan publik yang proaktif, baik melalui regulasi industri keuangan maupun program literasi yang terarah, agar manfaat konsumsi tetap terjaga tanpa harus mengorbankan stabilitas keuangan generasi mendatang.
Peran kebijakan pemerintah
Agar fenomena doom spending lebih banyak memberikan manfaat bagi perekonomian sekaligus meminimalkan risiko sosial, peran kebijakan publik menjadi sangat krusial. Pemerintah memiliki ruang yang luas untuk merancang langkah-langkah yang tepat, mulai dari perlindungan konsumen hingga kebijakan fiskal yang berpihak pada ekonomi lokal.
Salah satu instrumen utama yang bisa diperkuat adalah regulasi perlindungan konsumen, khususnya pada sektor fintech dan layanan paylater. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebenarnya telah mencatat lonjakan tajam pembiayaan paylater, sebuah sinyal bahwa pengawasan perlu diperketat. Dengan aturan yang jelas mengenai transparansi suku bunga, kewajiban peringatan risiko, serta mekanisme penagihan yang etis, dampak negatif dari konsumsi berbasis utang ini bisa ditekan.
Data yang dipublikasikan OJK dan diulas oleh Tech in Asia menunjukkan tren pertumbuhan paylater yang begitu cepat, dan hal ini seharusnya menjadi momentum untuk mendorong edukasi konsumen sekaligus menguatkan tata kelola industri.
Selain perlindungan konsumen, literasi finansial yang dirancang khusus untuk Generasi Z juga menjadi kebutuhan mendesak. Literasi tidak lagi bisa disajikan dengan cara konvensional, melainkan harus dikemas melalui kanal digital, influencer yang kredibel, hingga integrasi dalam kurikulum pendidikan tinggi.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 menegaskan bahwa meski tingkat inklusi sudah tinggi, pemahaman finansial di kalangan anak muda masih menyisakan ruang besar untuk perbaikan. Ini membuka peluang untuk menanamkan prinsip sederhana namun krusial seperti kebiasaan menabung, berinvestasi dalam skala kecil, serta mengelola utang dengan bijak.
Langkah lain yang juga strategis adalah pemberian insentif bagi kanal belanja formal yang dapat memperkuat UMKM lokal. Dengan mendorong platform digital yang menonjolkan produk dalam negeri berkualitas, pemerintah tidak hanya mengarahkan arus konsumsi Gen Z ke jalur yang lebih produktif, tetapi juga memasukkan aktivitas tersebut ke dalam ekosistem formal yang tercatat dalam sistem perpajakan dan statistik ekonomi.
Sejalan dengan itu, kebijakan fiskal dapat diarahkan untuk memperbesar nilai tambah lokal, bukan sekadar menyalurkan konsumsi ke barang-barang impor. Misalnya, pemerintah dapat memberikan subsidi pelatihan bagi pelaku kreatif, mendukung akses modal ventura untuk startup konten, atau bahkan meluncurkan program co-branding dengan pelaku industri kreatif agar daya saing produk lokal semakin kuat.
Dari perspektif stabilitas keuangan, Bank Indonesia dan OJK juga perlu lebih proaktif dalam memetakan risiko makroprudensial. Fenomena pembiayaan konsumsi digital harus terus dimonitor melalui rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) pada portofolio paylater.
Dengan pemantauan ketat, regulator bisa menentukan batas ekspansi yang sehat sekaligus mengantisipasi potensi risiko sistemik yang bisa mengguncang stabilitas perbankan dan sektor keuangan secara keseluruhan.
Jika dirancang dengan hati-hati, serangkaian kebijakan ini bukan hanya mampu menahan sisi rapuh dari doom spending, tetapi juga mengubah alirannya menjadi sumber penguatan kapasitas produksi nasional sekaligus kemandirian usaha lokal. Dengan demikian, fenomena yang awalnya lahir dari kecemasan justru bisa menjadi energi baru bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan
Baca juga: "Paylater" di Indonesia perlu diatur, jangan sampai jadi bumerang
*) Dr. M.Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menelaah tren "doom spending" Gen Z sebagai motor penggerak ekonomi
