Yogyakarta (ANTARA) - Saksi ahli pidana Prof. Jamin Ginting mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada persidangan kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Argo Ericko Achfandi. Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Sleman pada Selasa (14/10) dipimpin oleh Hakim Ketua Irma Wahyuningsih, dengan terdakwa Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan.
Persidangan kali ini menghadirkan tiga saksi ahli yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa. Ketiganya adalah ahli pidana Prof. Jamin Ginting, ahli hipnoterapi Dr. Dewi Puspaningtyas, dan rekan sekampus terdakwa, Yonis Aryanata. Dalam kesaksiannya, Prof. Jamin menjelaskan klasifikasi dasar penentuan keadaan darurat dalam peristiwa pidana.
Menurutnya ada empat unsur utama yang dapat menjadikan suatu perbuatan dikategorikan sebagai keadaan darurat. Pertama, tidak ada niat atau kehendak dalam perbuatan itu. Dalam hal ini, terdakwa memiliki SIM dan berada dalam kondisi normal. Kedua, peristiwa terjadi di luar kemampuan pengemudi untuk mengantisipasi.
Syarat ketiga adalah tindakan pengemudi yang bersifat rasional dan proporsional, yakni tahu mengemudi dengan baik dan benar, tidak dalam kondisi lelah atau bertikai, serta mengemudi dalam keadaan normal. Keempat, tidak ada alternatif lain yang lebih aman dalam waktu yang tersedia.
"Ia sudah berupaya membanting setir dan mengerem. Dalam situasi itu, ia berada dalam keadaan serba salah," ujar Prof. Jamin di hadapan majelis hakim.
Ia menegaskan jika keempat unsur tersebut terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
"Dalam kasus ini, saya melihat apa yang dialami terdakwa bukan kelalaian, melainkan keadaan darurat," katanya.
Salah satu kuasa hukum terdakwa, Diana, mempertanyakan bagaimana posisi hukum seseorang yang berada dalam keadaan dimaafkan, namun tetap menderita akibat peristiwa yang terjadi.
"Jika unsur dimaafkan terpenuhi, tapi terdakwa justru merasa menderita, apakah orang seperti ini bisa disebut korban juga?" tanya Diana.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Jamin menjelaskan bahwa kecelakaan tidak selalu disebabkan oleh satu pihak.
"Bisa saja kecelakaan disebabkan oleh dua pihak sekaligus, dan dalam beberapa kasus pelaku justru lebih menderita dibandingkan korban," ungkapnya.
Di luar persidangan, Prof. Jamin menjelaskan alasan pencabutan keterangannya dalam BAP. Ia menyebut, setelah mempelajari kembali bukti dan keterangan yang diperoleh dari berbagai pihak, pandangannya berubah.
"Saya baca lagi BAP yang sudah saya buat, dan saya melihat tidak ada sinkronisasi antara keterangan yang saya berikan saat itu dengan fakta yang terungkap di persidangan. Dulu saya menyebut itu sebagai kelalaian, tetapi setelah saya dalami lagi, ternyata belum cukup bagi saya untuk memberi keterangan yang tepat saat itu," katanya.
Sementara itu, saksi ahli hipnoterapi Dr. Dewi Puspaningtyas menjelaskan kondisi psikologis terdakwa. Ia mengaku telah enam kali melakukan terapi terhadap Christiano di Lapas Cebongan, setelah diminta oleh ayah terdakwa.
"Saat pertama bertemu, Christiano seperti kehilangan gairah hidup. Ia depresi dan trauma atas kecelakaan yang menewaskan rekannya. Sejak ditahan, berat badannya turun sekitar tujuh hingga delapan kilogram," ungkap Dewi.
Menurutnya, terdakwa sempat menolak terapi pada awalnya, namun setelah dilakukan pendekatan dengan metode relaksasi, Christiano mulai terbuka.
"Dia sering mengatakan bahwa seharusnya saat ini ia sedang menjalani semester tujuh, bukan berada di penjara. Ia menyesal dan pernah berkata, ‘Kalau bisa tukar, saya ingin tukar dengan almarhum Argo,’" tutur Dewi dengan nada haru.
Kuasa hukum terdakwa lainnya, Achiel Suyanto S., menyoroti aspek forensik yang belum lengkap. Ia menyebutkan bahwa penyebab kematian korban belum bisa dipastikan karena tidak ada visum et repertum yang dikeluarkan secara resmi.
"Padahal, untuk menentukan sebab kematian seseorang, diperlukan visum sebagai dasar medis. Dari situ baru diketahui apakah kematian korban memang akibat kecelakaan atau ada penyebab lain," ujarnya.
