Pangan Adat: Kunci kedaulatan pangan dan pengakuan hak adat

id pangan adat,masyarakat adat,kedaultatan pangan

Pangan Adat: Kunci kedaulatan pangan dan pengakuan hak adat

Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam diskusi panel bertema “Eco-regionalisasi Sistem Pangan, Solusi untuk Melestarikan Keberagaman Budaya Pangan” yang berlangsung di Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis (16/10/2025). ANTARA/HO-Ist

Yogyakarta (ANTARA) - Pengembangan pangan adat dipandang sebagai solusi penting dalam memperkuat kedaulatan pangan nasional sekaligus memberikan pengakuan yang layak bagi hak tanah dan ruang masyarakat adat. Dengan melibatkan pangan adat, masyarakat adat tidak hanya berpeluang memperoleh kehidupan yang lebih aman dan sejahtera, tetapi juga dapat berperan sebagai kekuatan utama dalam memastikan ketahanan pangan Indonesia di masa depan.

Hal tersebut disampaikan Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam diskusi panel bertema “Eco-regionalisasi Sistem Pangan, Solusi untuk Melestarikan Keberagaman Budaya Pangan” yang berlangsung di Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis (16/10/2025). Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian Kenduri Budaya Pangan Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan RI.

Burhanudin menjelaskan Indonesia memiliki kekayaan luar biasa dalam hal sumber pangan lokal dengan lebih dari 77 spesies tanaman pangan yang sebagian besar dikelola oleh masyarakat adat di seluruh pelosok tanah air.

Tercatat ada 1.633 komunitas adat yang mengelola sekitar 33,6 juta hektar wilayah di 30 provinsi, namun potensi besar ini masih terabaikan, karena sebagian besar wilayah adat belum mendapatkan pengakuan hukum yang jelas. Tanpa pengakuan tersebut, banyak komunitas adat terancam kehilangan tanah leluhur mereka dan terjebak dalam konflik yang melibatkan izin konsesi, tambang, dan proyek strategis nasional (PSN).

Menurut data Kementerian Kehutanan 2025, hanya 160 unit hutan adat dengan luas 333.687 hektare yang diakui negara, sementara potensi hutan adat yang seharusnya diakui mencapai 4,3 juta hektare.

“Dengan kecepatan itu, butuh 95 tahun untuk mengakui seluruh hutan adat kita. Dalam kurun itu, banyak masyarakat adat bisa hilang, dan bersama mereka, hilang pula sumber kedaulatan pangan kita," katanya.

Pentingnya pengakuan hukum bagi masyarakat adat tidak bisa dipandang sebelah mata dan menurut Burhanudin, masalah pengakuan ini masih terhambat oleh rantai birokrasi yang rumit dan tumpang tindihnya lebih dari 20 regulasi yang ada. Untuk itu, salah satu solusi yang diusulkan adalah rekognisi pangan adat sebagai bagian dari kebijakan pemerintah.

Burhanudin juga menyarankan agar Pemerintah segera mengeluarkan aturan turunan dari Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN yang sudah mencakup penguatan pangan melalui Perhutanan Berbasis Masyarakat, namun belum mencantumkan secara eksplisit pangan adat.

“Pemerintah perlu segera membuat aturan turunan dari Perpres tersebut untuk memasukkan pangan adat sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan begitu, hutan adat mendapat status legal, mencegah konflik dan kriminalisasi,” jelasnya.

Selain pengakuan, insentif nyata bagi masyarakat adat juga menjadi kunci untuk mendorong pengembangan pangan adat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah perlindungan terhadap pangan, benih, dan pengetahuan tradisional; dukungan terhadap praktik agroekologi adat; serta moratorium izin ekstraktif di kawasan pangan adat. Selain itu, perlu ada pembentukan koperasi atau badan usaha milik adat yang dapat mendukung ekonomi berbasis pangan lokal.

Berbagai komunitas adat di Indonesia, tambah dia, telah membuktikan kontribusinya terhadap ketahanan pangan nasional. Di Kajang, Sulawesi Selatan, hutan adat menghasilkan nilai ekonomi pangan hingga Rp28,9 miliar per tahun, sementara di Haruku, Maluku, sistem Sasi Laut mampu menghasilkan hingga Rp125 miliar per tahun dari hasil laut.

“Pangan adat terbukti mengurangi ketergantungan impor dan memperluas sumber pangan nasional. Sistemnya berbasis konservasi dan keadilan ekologi,” imbuh Burhanudin.

Menghidupkan kembali sistem pangan adat tidak hanya berarti menjaga keberagaman budaya dan pengetahuan lokal, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial yang semakin terkikis oleh modernisasi.

“Pangan adat adalah simbol kemandirian bangsa, jalan menuju kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan tidak bergantung pada pasar global,” pungkas Burhanudin.

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.