Yogyakarta (ANTARA) - Kunjungan WHO-International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines (IRCH) ke PT Bintang Toedjoe pekan lalu bukan hanya sebagai tinjauan terhadap performa produsen farmasi herbal, tetapi juga pengakuan terhadap Indonesia sebagai salah satu produsen obat herbal dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan menunjukkan potensinya sebagai pemimpin global dalam pengembangan obat herbal, khususnya melalui pemanfaatan jahe merah.
Jahe merah, yang sejak lama digunakan dalam pengobatan tradisional di berbagai suku Indonesia, seperti suku Jawa, Tolitoli, Banjar, Madura, Batak, Dayak, Bugis, dan Sunda untuk kekebalan dan vitalitas tubuh, dan kini semakin mendapat perhatian dari dunia ilmiah.
"Ribuan tumbuhan sudah dimanfaatkan sebagai pengobatan herbal sejak zaman nenek moyang. Di Indonesia, kita sudah punya farmakope herbal untuk standarisasi produk herba. Jahe merah yang banyak jadi pilihan orang, apalagi ketika pandemi COVID-19 lalu,” ujar dr. Inggrid Tania, Ketua Perkumpulan Dokter Pengembangan Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dalam sebuah siaran yang ditayangkan di YouTube.
Jahe merah dikenal memiliki kandungan aktif seperti gingerol dan shogaol yang memiliki beragam manfaat kesehatan. Mulai dari anti-inflamasi, antioksidan, hingga potensi sebagai pengobatan diabetes dan arthritis.
Penelitian modern mendukung pengetahuan lokal mengenai manfaat jahe merah, dengan bukti ilmiah yang semakin memperkuat efektivitasnya untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan meredakan mual. Penelitian "Phytotherapy Research" menunjukkan jahe merah memiliki potensi dalam mengurangi gejala arthritis karena sifat
anti-inflamasinya dan dalam jurnal "Journal of
Ethnopharmacology" menemukan bahwa ekstrak jahe merah memiliki efek antidiabetes dan dapat membantu mengontrol kadar gula darah.
Untuk membawa potensi herbal Indonesia ke tingkat global, ekosistem industri herbal yang terintegrasi sangat diperlukan. Dr. Inggrid menekankan pentingnya tiga aspek utama: autentisitas, kemurnian, dan mutu.
"Ekosistem obat herbal dari hulu hingga hilir diperlukan agar produk bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari sisi keamanan, kualitas, dan khasiat," jelasnya.
Industri herbal Indonesia menghadapi tantangan besar, di antaranya memastikan traceability sumber bahan baku dan menghindari potensi pencemaran. Sejumlah pelaku usaha, pemerintah, dan organisasi harus bersama-sama membangun ekosistem yang dapat mendukung standarisasi produk herbal yang siap bersaing di pasar global.
WHO-IRCH sendiri telah memfokuskan upaya untuk menyusun farmakope internasional yang mencakup standar obat herbal dari berbagai negara. Indonesia, yang telah memiliki kemajuan signifikan dalam riset dan pengembangan produk herbal, menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan ke-16 WHO-IRCH pada 2025. Dalam acara tersebut, Indonesia berkesempatan untuk memamerkan kemajuan industri dan risetnya, terutama dalam pengolahan jahe merah.
Kunjungan WHO-IRCH ke PT Bintang Toedjoe, yang juga berfokus pada jahe merah sebagai herba asli Indonesia, menjadi contoh nyata dari ekosistem herbal terintegrasi yang mengedepankan kualitas dan keberlanjutan.
Fanny Kurniati, Presiden Direktur PT Bintang Toedjoe menyampaikan kebanggaannya terhadap komitmen perusahaan dalam menghasilkan produk herbal yang teruji aman dan berkualitas tinggi, dari kebun hingga ke tangan konsumen.
"Jahe merah yang kami gunakan untuk Bejo Jahe Merah sudah teruji paling aman untuk tingkatkan kekebalan tubuh. Ditambah, khasiat anti-inflamasinya juga kami manfaatkan di Komix Herbal," ujar Fanny.
Komitmen perusahaan untuk menggabungkan pengetahuan lokal dengan sains berteknologi tinggi ini sejalan dengan semangat "From Nature to Science" yang menjadi dasar setiap proses produksi.
Kunjungan ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam memperkuat peran Indonesia sebagai pusat riset dan produksi obat herbal berstandar internasional. Keanekaragaman hayati yang melimpah, pengetahuan lokal yang mendarah daging, dan kemajuan sains di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini siap menjadi pusat pengembangan obat herbal dunia, dengan jahe merah sebagai simbol awal yang menjanjikan.
“Kunjungan WHO-IRCH ini menjadi kehormatan besar dan mendorong kami terus membawa pengetahuan lokal yang didasari sains bisa mencapai masyarakat global, dimulai dengan jahe merah,” tutup Fanny Kurniati.
