Harapannya, dengan diberikannya status siaga darurat itu, sehingga anggaran yang dimiliki oleh pemerintah pusat dapat lebih mudah untuk digulirkan ke daerah
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bambang Hero mengkritisi status penetapan siaga darurat terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) untuk sejumlah provinsi di Indonesia.

“Harapannya, dengan diberikannya status siaga darurat itu, sehingga anggaran yang dimiliki oleh pemerintah pusat dapat lebih mudah untuk digulirkan ke daerah,” kata Bambang di Jakarta, Kamis (8/8).

Bambang menjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2011 tentang pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sudah sangat jelas terkait penanganan Karhutla.

Bambang mengatakan dalam aturan itu, kebakaran terjadi di kabupaten, maka bupati yang bertanggungjawab, Jika asapnya sudah masuk di kabupaten lain makanya gubernur yang bertanggungjawab. Sementara ketika kebakaran antar provinsi atau sudah masuk ke negara lain, maka itu menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup yang saat ini sudah disatukan kementeriannya.

“Sebagian kita bisa lihat sudah bekerja, kenapa dikatakan sebagian, karena kita berharap, mereka dapat bekerja secara keseluruhan,” ujar Bambang.

Bambang menyatakan belum sepenuhnya penanganan Karhutla disebabkan anggaran yang tersedia sangat kecil bahkan tidak ada. Meskipun areal yang terbakar itu, kata dia, sudah berulang kali terjadi. Sebagian daerah, menurut Bambang, beralasan anggaran kecil karena bukan merupakan skala prioritas, karena masih banyak prioritas lain yang harus dilaksanakan.

Baca juga: Tanpa membakar, sampah hasil pembersihan lahan bisa dijadikan kompos

Bambang menyatakan peraturan pemerintah itu sangat baik sebagai bentuk pencegahan dan penanganan Karhutla, namun belakangan ini sering dimanfaatkan sebagian pemerintah daerah dengan alasan anggaran. Tetapi, kata dia, masih ada juga pemerintah daerah yang tidak mau menetapkan siaga darurat, karena mereka tidak mau dan dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan di daerahnya.

“Mestinya ini perlu dievaluasi kembali dan sebagian sudah ada kelompok masyarakat yang meminta pihak KPK untuk menelusuri terkait penetapan tanggap bencana itu,” jelas Bambang.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 tentang kriteria teknis status kesiagaan dan darurat kebakaran hutan dan lahan, pasal 6 dimana parameter penetapan status diantaranya peringkat bahaya kebakaran, suhu udara, hari tanpa hujan, analisa curah hujan, prakiraan curah hujan, titik panas atau hotspot, kejadian Karhutla, kondisi asap, kondisi kualitas udara, jarak pandang hingga jumlah penderita gangguan kesehatan akibat Karhutla.

“Saya baru mendapatkan informasi, kalau ada satu provinsi yang kepala BPBD nya diganti karena sudah menetapkan status siaga darurat sejak 1 Januari, padahal saat itu masih kondisi hujan,” kata Bambang.

Sebelumnya Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B. Panjaitan mengatakan sebanyak delapan provinsi yang rawan Karhutla dimana sudah ada enam provinsi yang menetapkan siaga darurat Karhutla.

Provinsi yang menetapkan status siaga darurat Karhutla yakni Provinsi Riau 19 Februari hingga 31 Oktober 2019 atau 255 hari. Provinsi Kalimantan Barat 12 Februari hingga 31 Desember 2019 atau 323 hari

Provinsi Sumatera Selatan 8 Maret hingga 31 Oktober 2019 atau 237 hari. Provinsi Kalimantan Tengah 28 Mei hingga 26 Agustus 2019 atau 91 hari, Provinsi Kalimantan Selatan 1 Juni hingga 31 Oktober 2019 atau 153 hari dan Provinsi Jambi 23 Juli hingga 20 Oktober 2019 atau 90 hari.

Sementara itu, untuk tiga daerah lainnya yakni Kota Dumai 13 Februari hingga 31 Mei 2019 atau 108 hari. Kabupaten Sambas 1 Februari hingga 31 Desember 2019 atau 334 hari dan Kapuas 8 Juli hingga 5 Oktober 2019 atau 90 hari.

“Kenapa siaga, karena siaga itu menuju darurat, itu ditetapkan untuk mempermudah dan mempercepat memberikan dukungan kepada pemerintah daerah dari pusat,” jelas Raffles.

Baca juga: CIPS: Pemerintah perlu perhatikan data pemegang izin konsesi lahan
Baca juga: CIPS ingin KLHK-Pemda pantau lahan hutan secara daring


Pewarta: Fauzi
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019