Para Imam dan Khatib dan pemuka agama lainnya perlu ditingkatkan kapasitas mereka tentang pengetahuan dan pemahaman keagamaan lebih mendalam dan komunikasi sosial, sehingga perannya dapat dimaksimalkan sebagai filter dan katalisator masuknya paham ra
Ambon (ANTARA) - Direktur Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN Negeri Ambon, Dr. Abidin Wakano menyatakan dibutuhkan penguatan kapasitas terhadap instrumen-instrumen adat di Maluku untuk menangkal berkembangnya paham radikalisme dan terorisme di wilayah tersebut.

"Instrumen adat yang masih kuat dan dihormati masyarakat di Maluku menjadi modal sosial untuk menangkal perkembangan paham radikalisme dan terorisme," kata Abidin pada seminar sehari bertema "Data dan Pendekatan dalam Penanganan dan Pencegahan Aksi Radikalisme dan Terorisme (Kekerasan Ekstrimisme) di Ambon, Kamis.

Baca juga: Generasi milenial jangan sampai terkena virus intoleran-radikalisme

Baca juga: Peneliti: Media sosial berperan dalam penyebaran paham intoleran

Baca juga: Grace Natalie bilang intoleran harus diatasi secara sistematis

Baca juga: Syafii: jangan biarkan kelompok pengganggu Pancasila berkembang

Baca juga: Kapolda DIY: peristiwa penyerangan Gereja Santa Lidwina memprihatinkan


Dia tidak menampik paham radikalisme mulai merebak di Maluku, termasuk menyasar kalangan mahasiswa di sejumlah kampus, kendati hasil kajian menunjukkan skalanya masih kecil dan belum terlalu berpengaruh.

Dia mencontohkan para Imam Masjid di desa-desa adat di Maluku merupakan komponen lokal yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat, karena mereka diangkat berdasarkan garis keturunan, sehingga keberadaan perlu mendapat perhatian dan ditingkatkan kapasitasnya.

"Para Imam dan Khatib dan pemuka agama lainnya perlu ditingkatkan kapasitas mereka tentang pengetahuan dan pemahaman keagamaan lebih mendalam dan komunikasi sosial, sehingga perannya dapat dimaksimalkan sebagai filter dan katalisator masuknya paham radikalisme di masyarakat," katanya.

Dia menegaskan, infiltrasi faham radikalisme di kalangan masyarakat salah satunya melalui mimbar-mimbar agama.

"Mungkin hanya di Maluku saja imam masjidnya diangkat berdasarkan garis keturunan. di tempat lain tidak ada seperti ini. Mereka harus dibekali pengetahuan dan kemampuan resolusi konflik," katanya.

Abidin yang juga menjabat Direktur Lembaga Antar Iman Maluku juga menggaris bawahi bahwa pada kampung-kampung berbasis adat di Maluku masih menjunjung tinggi dan menghormati tokoh agama, tokoh pemuda dan pemuka masyarakat sebagai panutan, dan ketokohan mereka dianggap penting untuk menjadi kekuatan merangkul generasi muda dan dibina kreativitasnya.

Selain itu, peran Saniri Negeri (dewan adat) yang memegang peranan penting dalam mengatur tata adat istiadat yang dijunjung dan dihormati masyarakat, juga perlu ditingkatkan dan dioptimalkan untuk menangkal dan membentengi masyarakat dari masuknya faham radikalisme maupun gerakan transnasional.

Pendidikan muatan lokal

Abidin yang juga dosen Pasca Sarjana IAIN Negeri Ambon juga menyarankan kurikulum muatan lokal (mulok) yang selama ini didengungkan harus berisi nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat.

"Sudah saatnya proses pembelajaran kontekstual karena yang diajarkan adalah orang Maluku. Kenapa kita mengajarkan orang Maluku tetapi tidak berpakaian kemalukuan. Ini sesuatu yang salah kaprah," tandasnya.

Menurut dia pendidikan mulok selama ini digaungkan, tetapi tidak dilaksanakan dan diaplikasikan di dalam sistem pendidikan.

"Mulok harus berbasis kearifan lokal yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku. Hal ini untuk menanamkan kecintaan generasi akan datang sekaligus mencegah pengikisan budaya dan adat istiadat akibat pengaruh dari luar," katanya.

Dia juga mencontohkan, inisiasi kegiatan "panas pela" (peringatan kembali akan hubungan kekerabatan dan persaudaraan beberapa desa yang dilakukan para leluhur jaman dahulu) untuk mengingatkan kembali kepada warga masing-masing desa akan pertalian hubungan persaudaran yang dimiliki dan perlu dipelihara turun-temurun.

"Jadi kearifan lokal harus dihidupkan kembali di lingkungan pendidikan, termasuk pendidikan keluarga di Maluku yang menganut tradisi "dulang" atau makan bersama semeja antara anak dan orang tua," ujaranya.

Dulang (wadah menampung hasil kebun dan diusung kaum ibu di atas kepala), katanya menjadi media perjumpaan, interaksi dan edukasi antara orang tua dan anak, sehingga anak tidak mencari media lain untuk melampiaskan ekspresinya, atau menokohkan orang lain sebagai idolanya.

"Pranata sosial dan kearifan lokal seperti ini yang harus dihidupkan dan dan dipertahankan kembali, sehingga generasi muda penerus masa depan bangsa tidak mudah terhasut paham dan aliran sesat," ujar Abidin.

Pewarta: Jimmy Ayal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019