seharusnya bisa (menurunkan emisi) lebih dari 29 persen untuk target 2030
Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut pemerintah perlu menutup “celah” Instruksi Presiden tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca.

“Dalam konteks kebijakan pendukung, itu (Inpres) salah satu yang kita dorong, bahwa perlu ada kebijakan perlindungan jangka panjang. Tetapi tentu saja ‘celah’ di Inpres itu harus ditutup, misalnya PIPPIB (Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru, red) yang direvisi enam bulan sekali, dan pengecualian proyek strategis nasional,” kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi Yuyun Harmono dalam konferensi pers Langkah Penurunan Emisi Indonesia dari Sektor Berbasis Lahan Pascalaporan IPCC di Jakarta, Jumat.

Yuyun mengatakan jika ingin mengikuti Laporan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) terbaru untuk dapat menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius, maka perlu ada evaluasi Nationally Determined Contributions (NDC). Jika negara maju dituntut tiga kali lipat menurunkan emisinya, maka negara berkembang juga harus menaikkan targetnya.

“Seharusnya bisa (menurunkan emisi) lebih dari 29 persen untuk target 2030,” ujar dia.

Lalu, menurut dia, yang juga penting untuk dilakukan adalah menjaga ekosistem esensial yang melibatkan peran serta masyarakat. Sehingga pendekatannya bukan lagi, misalnya, restorasi ekosistem berbasis korporasi, tetapi harusnya peran serta masyarakat.

Baca juga: Kemajuan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca

Project manager di Kemitraan Partnership Abimanyu S Aji mengatakan Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin (5/8), kebetulan sekali keluar berdekatan dengan laporan IPCC.

Namun demikian dalam jangka waktu delapan tahun sejak Inpres tentang moratorium pemberian izin baru hingga penghentian pemberian izin baru di hutan primer dan lahan gambut ini, menurut dia, masih tetap ada hutan yang hilang. "Ada kesan seperti gali lubang tutup lubang," katanya.

Karena itu, ia mengatakan pertanyaannya adalah apakah Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut kali ini masih memberi celah.

Menurut dia, Inpres ini perlu diperkuat, karena selama moratorium perizinan dilaksanakan terjadi deforestasi namun tidak ada sanksi yang dikeluarkan.

Lebih lanjut ia mengatakan Inpres ini hanya untuk satu instrumen berbasis lahan sementara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca masih ada lagi energi, sampah, dan sebagainya. Karenanya akan berat jika hanya dari satu instrumen saja.

Jika mengacu pada IPCC maka, menurut dia, pemerintah sudah ada pada jalur yang benar.

”Tapi harusnya visinya sudah bukan lagi 2045, harus lebih jauh lagi. Masterplan harus dibangun, itu cara untuk bisa mengangkat rekomendasi badan dunia," katanya.

Baca juga: Kaltim pelaksana program pengurangan emisi karbon gas rumah kaca
Baca juga: Indonesia optimistis kesepakatan iklim dengan Norwegia bisa segera dijalankan


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019