Jakarta (ANTARA) - Sejumlah kalangan menyatakan kebijakan diskon rokok yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai bertentangan dengan visi Presiden Joko Widodo yang ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Dalam diskusi media dengan tema “Ironi Diskon Rokok Di Tengah Visi Jokowi Membangun Manusia Indonesia” di Jakarta, Selasa peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyatakan Indonesia tidak akan bisa menikmati bonus demografi pada 2030-2040 apabila kebijakan diskon rokok tidak segera dihapus.

Kebijakan tersebut, tambahnya, menyebabkan kualitas masyarakat akan semakin terdegradasi sehingga tidak bisa memberikan kontribusi nyata dalam mendukung perekonomian.

“Untuk mencapai visi meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia tersebut, kami menyarankan Presiden segera memerintahkan Kementerian Keuangan untuk menghapus kebijakan diskon rokok. Jika tidak, Indonesia tak akan bisa menikmati bonus demografi yang sudah berada di depan mata,” kata Abdillah.

Ketentuan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.

Artinya, menurut Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Muhammad Joni, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15 persen dari tarif yang tertera dalam banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Menurut dia, kebijakan diskon rokok juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.

Selain itu, lanjutnya, kebijakan diskon rokok bertolak belakang dengan Visi Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin yakni ‘Indonesia Maju’ yang fokus membangun sumber daya manusia andal.

“Adanya benturan kebijakan menandakan pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Pemerintah terkesan hanya memikirkan soal penerimaan negara yang sebesar-besarnya dari industri hasil tembakau tanpa memikirkan kelangsungan masa depan penerus bangsa,” tegas Joni.

Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) yang juga Koordinator Solidaritas Advokasi Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA) Tubagus Haryo Karbyanto menjelaskan kesalahan besar regulator yakni melegalkan penjualan harga rokok di bawah harga banderol yang tertera dalam pita cukai.

“Kemenkeu salah dalam memaknai filosofi cukai. Kenyataannya mindset yang terbangun dan dijalankan adalah mindset revenue dan terjebak pada keuntungan finansial semata,” ujarnya.

Selain itu Tubagus juga khawatir, jika kebijakan rokok tidak segera dihapus, angka perokok khususnya remaja akan terus bertambah. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok pada remaja usia 10 sampai 18 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,9 persen dari tahun 2013 (7,20 persen) ke tahun 2018 (9,10 persen).

“Kebijakan diskon rokok menjadi ganjalan bagi pemerintah yang bercita-cita menurunkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Alangkah bijaksana jika kebijakan diskon rokok segera dihapus demi tercapainya kepentingan bangsa bersama,” katanya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019