Jakarta (ANTARA) - Berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan ekonomi makro dan kondisi fiskal harus dapat diberdayakan dengan sungguh-sungguh untuk melesatkan kinerja ekspor, terutama dalam rangka mengatasi defisit neraca perdagangan serta mengantisipasi dampak perang dagang.

Anggota DPR RI dari Fraksi PPP Lena Maryana di Jakarta, Kamis, menyatakan, pihaknya meminta agar pengelolaan makro ekonomi dan fiskal mampu menciptakan arus investasi dan ekspor yang lebih besar, sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang lebih luas dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang produktif dan berdaya saing.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah juga perlu didorong agar meningkatkan ekspor antara lain melalui diversifikasi ekspor termasuk dari sisi komoditasnya.

Pemerintah, lanjutnya, dinilai juga perlu memperluas kebijakan substantif terhadap produk-produk impor antara lain produk impor pangan seperti sereal dan gula serta bidang telekomunikasi.

Lena juga memberikan penegasan agar Pemerintah perlu mewaspadai dan mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global terkait suku bunga komoditas arus modal.

"Kami menilai tentang perekonomian Indonesia sangat rentan dipengaruhi oleh perekonomian global sehingga Pemerintah perlu mengantisipasi resiko depresiasi rupiah terhadap dolar akibat meningkatnya perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok," ujarnya.

Ia juga menginginkan pemerintah mewaspadai dampak pelemahan permintaan global terhadap komoditas ekspor unggulan seperti karet dan minyak kelapa sawit, karena berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat kelas bawah.

Baca juga: Enggartisto sebut nilai perdagangan Indonesia mulai membaik

Sebagaimana diwartakan, Pemerintah dinilai perlu untuk benar-benar menyiapkan strategi besar dalam mengantisipasi dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang berdampak kepada kondisi perekonomian nasional.

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah memperkirakan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar masih belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik.

Said Abdullah menilai selain imbas normalisasi kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS), pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang.

"Jadi, kalau dua negara raksasa ekonomi ini berperang, maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasar global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor Indonesia pun berpeluang terganggu karena penurunan permintaan," katanya.

Untuk itu, politisi PDIP itu meminta pemerintah menyiapkan strategi besar karena China dan AS merupakan negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan fokus mendorong ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk memperbaiki neraca perdagangan pada semester I 2019 yang saat ini telah mencapai angka 1,90 miliar dolar AS.

"Peningkatan ekspor di tengah situasi yang tidak pasti ini, kami harus melakukannya," kata Enggartiasto saat ditemui usai rapat pembahasan RAPBN 2020 di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8).

Menurut dia, langkah strategis itu diambil dengan memanfaatkan situasi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat. "Peluang itulah yang kami ambil, seperti halnya Indonesia dengan Amerika Serikat, ekspor TPT meningkat 20 persen, tetapi di sisi lain Indonesia impor kapas dari mereka. Semakin meningkat impor kapas, semakin meningkat pula TPT, jadi kami melihat peluang itu dengan mengambil market share dari China," ujarnya.

Baca juga: Salak Gula Pasir Bali terus jajaki pasar ekspor
Baca juga: Pemerintah perlu siapkan strategi besar antisipasi perang dagang

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019