Kalau Bapak perintahkan saya hentikan, saya akan hentikan
Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan (Capim) KPK dari unsur Kejaksaan Agung, Johanis Tanak  menceritakan soal pengalamannya dipanggil Jaksa Agung HM Prasetyo saat menangani perkara kader Partai NasDem.

"Apakah selama menjadi jaksa pernah ada intervensi kepada bapak saat menangani kasus?" tanya anggota panitia seleksi capim KPK Al Araf di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Rabu.

"Saya waktu itu menjadi Kajati Sulawesi Tengah, saya menangani kasus mantan gubernur, kasus itu memenuhi unsur pidana. Saya dipanggil Jaksa Agung, saya menghadap dan Jaksa Agung mengatakan 'Kamu tahu siapa yang kamu tangani?' Lalu beliau mengatakan dia adalah ketua DPW NasDem," jawab Johanis yang saat ini menjabat sebagai Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.

Johanis menyampaikan hal tersebut pada uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019 dan diikuti 20 capim. Per hari, pansel KPK melakukan wawancara terhadap 7 orang capim yang dilakukan bergantian selama satu jam.

Baca juga: Hari ini pansel uji 7 calon pimpinan KPK

"Saya katakan 'Kalau Bapak perintahkan saya hentikan, saya akan hentikan. Bapak minta tidak ditahan, saya tidak akan tahan karena bapak atasan saya'. Tapi saya mengatakan saat Bapak terpilih, bapak dinilai tidak layak jadi Jaksa Agung karena diusulkan oleh golongan partai, dalam hal ini NasDem, mungkin ini momen yang tepat untuk bapak buktikan (bahwa bapak tidak seperti itu)," ungkap Johanis.

HM Prasetyo sebelum menjabat sebagai Jaksa Agung adalah kader Partai Nasional Demokrat. Ia terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah II, namun karena ditunjuk sebagai Jaksa Agung ia pun mengundurkan diri dari DPR.

Gubernur yang dimaksud adalah Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) 2006-2011 Bendjela Paliudju.

Kejaksaan Tinggi Sulteng menetapkan Bandjela Paliudju sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dukungan perjalanan dinas, biaya pemeliharaan kesehatan dan penunjang operasional gubernur, berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: 289/R.2/Fd.1/11/2014, tertanggal 6 November 2014.

Penetapan itu setelah adanya pengembangan penyidikan melalui fakta persidangan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan mantan Bendahara Gubernur Rita Sahara.

Setelah penetapan dirinya sebagai tersangka, Bendjela Paliudju diberhentikan dari jabatannya selaku ketua Dewan Pembina Partai Nasdem Sulteng.

Bandjela Paliudju kemudian divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palu pada 21 April 2016.

Majelis hakim menilai Bandjela tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara Rp8,7 miliar dari pos biaya operasional saat Bandjela menjabat gubernur pada periode 2006-2011.

Jaksa mendakwa Bandjela melakukan perbuatan melawan hukum dengan posisi sebagai pengguna anggaran dalam belanja biaya operasional gubernur pada 2006-2011 dengan komponen biaya perjalanan dinas, penunjang perjalanan dinas, pemeliharaan kesehatan, dan bantuan sosial. Penggunaan dana pos biaya operasional gubernur tidak disertai bukti yang valid. Akibatnya, negara dirugikan Rp8 miliar. Jaksa menuntut Bandjela 9 tahun penjara.

Baca juga: KPK tanggapi pernyataan capim soal kehadiran polisi di KPK

Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas pansel yaitu Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek dan Al Araf. Pansel juga mengundang dua panelis yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan.

Panitia seleksi (pansel) capim KPK pada Jumat (23/8) mengumumkan 20 orang yang lolos lolos seleksi profile assesment. Mereka terdiri atas akademisi/dosen (3 orang), advokat (1 orang), pegawai BUMN (1 orang), jaksa (3 orang), pensiunan jaksa (1 orang), hakim (1 orang), anggota Polri (4 orang), auditor (1 orang), komisioner/pegawai KPK (2 orang), PNS (2 orang) dan penasihat menteri (1 orang).

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019