Denpasar (ANTARA) - Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali membahas permasalahan maraknya pelecehan tempat suci pura yang dilakukan wisatawan dalam "Pesamuhan Madya 2019" untuk kemudian diambil keputusan bersama.

"Masalah pelecehan pura ini sudah sangat marak sehingga PHDI Bali perlu membuat keputusan, jangan sampai terjadi lagi pelecehan-pelecehahn yang dilakukan wisatawan," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, disela-sela Pesamuhan Madya IV PHDI Bali 2019 di Denpasar, Selasa.

Untuk menyelesaikan persoalan penistaan atau pelecehan tempat suci, lanjut Sudiana, juga tak berhenti sampai pada keputusan hasil Pesamuhan Madya atau rapat tahunan PHDI Bali, karena akan dilanjutkan dengan penyusunan Rancangan Pergub Perlindungan Pura yang nantinya diusulkan ke Gubernur Bali.

Baca juga: PHDI Bali keluarkan pedoman Hari Suci Nyepi

Baca juga: Ketua PHDI: Penjor Galungan hendaknya sederhana


"Dalam pergub tersebut nantinya akan mengatur etika masuk pura, kawasan suci, radius kesucian pura, hingga status pura dan sebagainya. Etikanya itu untuk umat Hindu dan juga wisatawan," ucapnya yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu,

Menurut hemat Sudiana, wisatawan boleh memasuki pura asalkan untuk tujuan bersembahyang, tetapi kalau hanya untuk tujuan wisata, sebaiknya disediakan tempat yang baik untuk bisa melihat sudut-sudut pura tanpa harus masuk ke kawasan tempat suci.

Jika pura tertentu menjadi objek wisata, dia mengusulkan harus disediakan pramuwisata yang paham betul mengenai etika masuk pura.

Dalam Pesamuhan Madya PHDI Bali itu juga membahas terkait hak dan kewajiban ahli waris menurut hukum Hindu dan hukum adat Bali serta persiapan Hari Suci Nyepi.

"Kami banyak mendapat pertanyaan terhadap hak waris yang sudah pindah agama karena selama ini banyak yang sudah pindah agama mendapatkan warisan yang sama bahkan lebih dari yang masih beragama Hindu, sehingga umat kita menjadi resah," ujarnya.

Belum lagi, kata Sudiana, persoalan yang timbul ketika ada pelaba pura yang disengketakan kemudian hak warisnya dimenangkan oleh umat yang sudah pindah agama sehingga akan menjadi masalah besar bagi umat Hindu yang ingin tetap bersembahyang.

Sementara itu, Dharma Upapati PHDI Bali Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari mengusulkan perlu dibuatkan semacam booklet etika mengunjungi objek wisata di Bali khususnya ke tempat suci pura.

Nantinya booklet itu disusun oleh Dinas Pariwisata bekerja sama dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait di bidang pariwisata seperti PHRI, Asita, HPI dan sebagainya. Booklet kemudian ditempatkan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali.

"Satu pihak kita tentu ingin pariwisata maju, tetapi jangan sampai lupa menjaga kesucian dan kelestarian pura," ucapnya.

Ida Pedanda pun mengingatkan umat tidak bisa hanya sekadar menyalahkan wisatawan ketika ada kasus pelecehan kesucian pura karena wisatawan sesungguhnya tidak tahu juga. "Sebelum sampai terjadi, maka waspadalah, karena ritual untuk kembali menyucikan pura itu membutuhkan biaya yang besar," ujarnya yang juga mantan Ketua FKUB Bali itu.

Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang membuka acara Pesamuhan Madya tersebut juga menandaskan bahwa di satu sisi Bali memang memerlukan pariwisata, tetapi di sisi lain tentu tidak ingin pura dan tempat suci lainnya ternodai.

Oleh karena itu, dia mengharapkan PHDI dapat menghasilkan keputusan sejauh batasan penodaan kesucian pura dan sejauhmana tidak.

Pemprov Bali saat ini juga sedah membahas Perda Pelayanan Pariwisata yang di dalamnya termasuk mengatur pembatasan masuk ke pura dan pencurian benda sakral. "Pencurian patung dan barong di pura tentu tidak bisa nilai kerugiannya disamakan dengan yang terpajang di toko," ujarnya.

Baca juga: PHDI Bali harapkan ada dana "CSR" budaya
 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019