Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menilai sebaiknya pemerintah melarang rokok elektronik atau yang lebih dikenal sebagai vape beredar dan dikonsumsi masyarakat Indonesia sebelum jatuh korban jiwa. 

"WHO sebenarnya sudah mengeluarkan pernyataan bahwa rokok elektronik berbahaya untuk kesehatan, karena itu setiap negara dianjurkan untuk memperketat regulasi soal rokok elektronik. Meski masih terjadi perdebatan, tapi sebelum jadi epidemi, kami menilai sebaiknya dilarang," kata Manajer komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi di Jakarta, Sabtu.

Ia menekankan walau belum terbukti kuat bahwa vape berbahaya, namun dengan ada korban hingga meninggal dunia di Amerika Serikat atas dugaan terkait penggunaan vape, Indonesia jangan mengambil risiko hingga menunggu korban jatuh terlebih dulu.

"Intinya Sebelum itu dinyatakan benar-benar aman, rokok elektronik jangan dikonsumsi masyarakat Indonesia supaya tidak ada jatuh korban. Caranya hentikan produksi atau impor rokok elektronik itu," katanya.

Juga baca: Vape sebabkan kematian di AS, Asosiasi Vaper Indonesia berikan jawaban

Juga baca: PDPI: Pengguna vape lebih berpotensi terkena penyakit paru


Ia juga mengaku terkejut dengan informasi mengenai izin beredar rokok elektronik merk Juul oleh Kementerian Perdagangan.

Menurut dia, selain berbahaya, Juul juga merupakan bagian dari industri tembakau multinasional Philip Morris melalui anak perusahaannya Altria Group, sebagai adaptasi mereka mengenai tren peralihan dunia dari rokok konvensional ke rokok elektronik.

"Altria itu anak perusahaannya Philip Morris. Mereka buat rokok elektronik karena secara internasional ada perubahan trend dari rokok konvensional rokok elektronik. Indonesia seharusnya sadar jangan kelihatannya ada pemasukan cukai tapi jadi epidemi baru di Indonesia," ucapnya.

Juga baca: Peneliti: vape salah satu cara hentikan kebiasaan merokok

Rokok-rokok elektronik itu, terlebih produksi industri besar, kata dia, akan menjadi "penjajah" baru bagi Indonesia. "Seperti halnya dulu kita diduduki oleh Philip Morris, British American Tobacco, dan lain-lain dalam rokok konvensional. Sekarang mereka berpindah ke rokok elektronik," ucapnya.

Kampanye rokok elektronik yang diklaim menjadi alternatif bagi mereka yang ingin berhenti merokok, menurut dia, adalah bohong besar karena sebagian besar cairan bagi vape, mengandung nikotin dengan jumlah di atas rokok konvensional.

"Khan yang mereka jual adalah nikotinnya. Ini bikin orang kecanduan karena lebih tinggi dari rokok biasa. Meski tanpa tar yang diklaim menjadi perusak paru-paru, aerosol yang dihasilkan rokok elektronik juga berbahaya karena ada zat berbahaya lain," ujar dia.

"Terlebih sekarang vape sudah terindikasi dijadikan alat konsumsi narkoba, makanya nggak bisa tidak kami mendorong itu benar-benar total di-banned saja, karena selain ada nikotin tinggi indikasi digunakan untuk narkoba juga tinggi," kata dia.

Juga baca: Polda Jambi ungkap kasus mahasiswa penjual ganja cair

Sebelumnya dikabarkan, hingga 11 September 2019, sudah enam orang di Amerika Serikat telah meninggal akibat penyakit paru-paru yang diduga dikarenakan mengisap vape. Menurut pejabat kesehatan negara bagian Kansas, seorang perempuan berusia 50 tahun ke atas menjadi korban keenam akibat vape.

Bahkan pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka berencana melarang penggunaan vape berasa buah beserta rasa mint dan mentol. Hanya rasa tembakau yang diperbolehkan beredar.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019