Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid, menilai sikap tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar hukum tata negara dan konstitusi.

“Menyerahkan mandat KPK kepada presiden melanggar sistem hukum tata negara dan konstitusi. Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada presiden berdasarkan hukum tata negara,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya, Minggu.

Baca juga: Mahfud MD: KPK tidak bisa mengembalikan mandat kepada presiden

Menurut Fahri, sikap tiga pimpinan KPK tersebut merupakan manuver serta "moving" dengan menggunakan diksi menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada presiden.

Apa yang dipertontonkan pimpinan KPK kepada publik tersebut, Fahri menilai merupakan lelucon yang tidak lucu.

“Ini adalah suatu ironi yang terjadi di sebuah negara demokrasi konstitusional saat ini. Sikap pimpinan KPK yang menyerahkan mandat kepada presiden ini harus dipandang sebagai tindakan yang inkonstitusional, serampangan dan melanggar Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri,” tandas Fahri yang juga Alumni Program Doktor Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu.

Fahri menjelaskan menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada presiden inkonstitusional.

Dari segi hukum tata negara maupun hukum administrasi negara, menurut Fahri, tidak ada nomenklatur menyerahkan mandat kepada presiden, selain karena tidak sejalan dengan rezim ketentuan pasal 32 ayat (1) poin e.

Menurutnya, UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena, meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari tiga bulan, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU KPK.

Sementara di sisi lain, Fahri menambahkan bahwa presiden tidak dalam kedudukan maupun kapasitas menerima tanggung jawab dan pengelolaan institusi KPK sebagai state auxiliary agencies terkecuali tiga pimpinan KPK tersebut secara eksplisit dan resmi menyatakan mengundurkan diri sesuai dengan kaidah ketentuan pasal 32 ayat (1) point e UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

”Ini adalah suatu praktik yang tidak lazim dan cenderung deviasi dari prinsip hukum. Apalagi di satu sisi telah menyerahkan mandat kepada presiden,tetapi di sisi yang lain berharap menunggu arahan dan direktif presiden untuk menjalankan atau tidak menjalankan tugas-tugas kelembagaan KPK sampai bulan Desember 2019,” tambah Fahri.

Lebih jauh, Fahri menegaskan bahwa pengunduran diri dari pimpinan KPK dan penyerahan mandat pengelolaan KPK kepada presiden sangat tidak negarawan dan potensial menjadi preseden buruk dalam praktik ketatanegaraan.

Fahri memaparkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat (5) dan (6) UU KPK disebutkan bahwa ayat (5) “Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif,” dan selanjutnya ayat (6) disebutkan bahwa “Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi KPK”.

”Dengan demikian maka untuk menjaga keberlangsungan dan kesinambungan kerja-kerja KPK sesuai tujuan dibentuknya KPK berdasarkan pasal 4 UU KPK, yaitu meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, maka presiden sebagai kepala negara segera mengambil langkah-langkah sesuai mandat hukum yang ada, yaitu dapat mengambil langkah untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK saat ini dengan mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sampai dengan berakhirnya periode pimpinan yang lama yaitu sampai pada bulan Desember 2019 yang akan datang,” tukas Fahri.

Agar segala proses pro justicia di KPK dapat berjalan dengan normal, menurut Fahri, tindakan tiga pimpinan KPK dengan mengembalikan mandat kepada presiden dapat dikualifisir sebagai tindakan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 32 ayat (1) point e UU KPK. karena,...e. mengundurkan diri; sehingga terpenuhi maksud dari kata-kata mengembalikan mandat adalah sejalan dengan maksud mengundurkan diri.

”Dengan demikian maka presiden dapat menggunakan kewenangan konstitusionalnya berdasarkan UU RI No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU No. 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang,” katanya.

Dijelaskan Fahri, khusus ketentuan pasal 33A ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK, yang menyebabkan pimpinan KPK berjumlah kurang dari tiga orang, presiden dapat mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sejumlah jabatan yang kosong.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa anggota sementara pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK.

Dan pada ketentuan pasal 33B menyebutkan bahwa masa jabatan anggota sementara pimpinan KPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 33A ayat (1) berakhir pada saat pengucapan sumpah atau janji anggota pimpinan KPK yang baru setelah dipilih melalui proses sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2).

”Dengan demikian maka presiden dapat mengisi kekosongan pimpinan KPK yang kurang dari tiga orang tersebut dan secara kelembagaan KPK tetap berjalan menyelesaikan tugas dan wewenangnya sampai dengan dilantiknya pimpinan KPK yang baru pada bulan Desember nantinya,” kata Fahri.

Sebelumnya tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Saut Sitomurang, dan Laode Muhammad Syarif menyerahkan mandat kepada presiden berawal dari adanya revisi UU KPK.

Dalam pernyataannya, Agus menyampaikan KPK dikepung dari berbagai sisi dan pemberantasan korupsi semakin mencemaskan.

Menurut Agus, pihaknya belum mengetahui draf isi revisi UU KPK tersebut.
 

Mahfud MD: Komisioner KPK bukan mandataris Presiden

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019