Makassar (ANTARA) - Ratusan sopir truk lintas asosiasi melakukan mogok kerja dengan tidak mengangkut semua kebutuhan pokok maupun kebutuhan ekspor ke Pelabuhan Petikemas Makassar sebagai bentuk protes atas kebijakan menghentikan penggunaan biosolar bersubsidi.

"Sesuai dengan tuntutan kami agar keputusan tersebut ditinjau ulang belum ditanggapi, maka kami semua melakukan mogok mengangkut logistik," ujar Koordinator Lapangan Ghalib Al Idrus di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.

Ia mengatakan aksi mogok yang dilakukan oleh para sopir dump truk ini karena sudah hampir dua pekan tidak lagi diberikan biosolar bersubsidi dan diharuskan untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) solar dex yang tidak bersubsidi.

Aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilainya tidak berpihak pada rakyat kecil karena aturan hanya diperuntukkan bagi truk yang bertonase tinggi atau truk di atas enam roda.

Sedangkan mobil-mobil mewah dan truk enam roda masih diberikan biosolar bersubsidi, walaupun dibatasi jumlah liternya setiap hari untuk satu truk.

"Kami ini sangat vital karena mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan lainnya untuk ekspor, untuk masyarakat kecil itu yang kami angkut tiap hari. Kami yang bersentuhan langsung dengan rakyat malah dilarang menggunakan biosolar bersubsidi, keadilannya dimana?," katanya.

Baca juga: Kadin tanggapi surat edaran BPH Migas
Baca juga: Surat edaran BPH Migas ancam kenaikan harga kebutuhan pokok di Sulsel


Kebijakan BPH Migas yang dikeluarkan itu berdampak kepada biaya logistik tinggi (high cost logistic) dan akan mempengaruhi daya beli masyarakat.

Kebijakan juga akan mempengaruhi daya saing komoditas lokal Sulawesi Selatan untuk tujuan ekspor serta mempengaruhi kelancaran arus distribusi barang dan logistik.

Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Makassar Sumirlan bahwa surat edaran oleh BPH Migas sudah mulai terasa selama lima hari terakhir dengan tidak dilayaninya pembelian biosolar.

"Sudah lima hari ini kami merasakan dampaknya karena tidak terlayani. Para sopir menjerit dan terpaksa kami mengeluarkan biaya lebih dulu, padahal kami melayani masyarakat dan menjaga agar tidak terjadi inflasi," katanya.

Harga biosolar yang biasanya dipakai Rp5.400 perliter. Jika subsidi dicabut atau dipaksakan untuk menggunakan solardex tanpa subsidi harganya Rp10.400, maka ada kenaikan hingga 100 persen.

"Cost-nya hingga 100 persen. Beberapa hari ini banyak pengusaha menjerit dengan keputusan BPH Migas dan jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka dampaknya pasti sistemik. Kami juga akan mengambil kebijakan jika pemerintah tidak memberikan solusi dalam dua hari ini," katanya.

Baca juga: BPH Migas : Ada kelebihan kuota solar di 10 kota
Baca juga: KPK: Optimalkan pendapatan negara dari BPH migas dan Pertamina


Hal sama juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) Syaifuddin Ipho menyatakan surat edaran dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) ancam kenaikan kebutuhan pokok di Sulsel.

"Saat ini kami sedang membahas beberapa upaya-upaya agar tidak banyak yang dirugikan dengan surat edaran BPH Migas itu," ujar Syaifuddin.

Surat edaran yang sudah dikeluarkan BPH Migas beberapa waktu lalu itu berdampak pada tidak terlayaninya kendaraan pengangkut bahan-bahan logistik karena tidak adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi.

Ipho menyatakan surat edaran tersebut idealnya masih bersifat pemberitahuan. Tetapi yang terjadi di wilayah Sulawesi, surat edaran tersebut berdampak pada tidak terlayaninya kendaraan-kendaraan pengangkut logistik di sentra pengisian bahan bakar umum (SPBU).

"Jumlah truk di Sulsel sebanyak 1.800 dan semuanya adalah truk khusus pengangkut kebutuhan pokok, untuk kebutuhan ekspor. Semuanya mogok mengangkut," katanya.

BPH Migas telah menerbitkan Surat Edaran tentang Pengendalian Kuota Jenis BBM Tertentu 2019 yang ditembuskan ke Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, gubernur dan bupati/wali kota.

Dalam surat edaran tersebut, kendaraan yang tidak diizinkan lagi menggunakan solar subsidi, yakni kendaraan bermotor pengangkutan ‎perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam buah dalam kondisi bermuatan tidak bermuatan.

Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menyebutkan ada 10 provinsi yang mengalami konsumsi di atas kuota yang ditetapkan. Di antara 10 provinsi tersebut patut diduga ada penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan.

Misalnya saja, Kalimantan Timur sebesar 124,6 persen rerata per bulannya, Kepulauan Riau (119,9), Lampung (113), Riau (111), Sulawesi Tenggara (109,4) dan Sulawesi Barat (109,2). Sumatra Barat (108,8), Sulawesi Selatan (108,8), Jawa Timur (108,7) dan Bangka Belitung 108,3 persen.

Pewarta: Muh. Hasanuddin
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019