Bahwa rancangan KUHP ini apabila disahkan dengan yang ada sekarang berpotensi memecah belah bangsa,
Jakarta (ANTARA) - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) didesak oleh politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest kepada DPR RI untuk ditunda pengesahannya karena dinilai terdapat sejumlah pasal yang dapat memecah belah bangsa.

"Bahwa rancangan KUHP ini apabila disahkan dengan yang ada sekarang berpotensi memecah belah bangsa," ujar Rian di Jakarta, Senin.

Menurut dia, dalam rancangan KUHP yang akan disahkan oleh DPR, terdapat sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. Salah satunya mengenai pemberlakukan pasal penodaan agama yang dianggap masih sangat karet dan multitafsir.

Baca juga: Pasal 218 untuk melindungi kehormatan Kepala Negara dari hinaan WNA

"Interpretasinya tergantung perasaan beragama orang per orang yang pasti beda. Kenapa tidak dibuat yang lebih jelas," ucap wakil ketua DPW PSI DKI Jakarta itu.

Poin pasal lainnya yang juga dianggap bermasalah adalah pengadopsian "living law" (hukum yang hidup di tengah masyarakat) yang berpotensi memecah belah, serta intervensi undang-undang yang terlalu jauh masuk ke ranah privat masyarakat.

Rian mendesak agar DPR menunda pengesahan rancangan KUHP, untuk kemudian dibahas kembali pada periode DPR berikutnya dengan melibatkan lebih banyak pihak.

"Teman-teman di DPR dan pemerintah lebih membuka lagi ruang dialog dengan masyarakat, buka pasal-pasalnya, unggah di daring, terima masukan dari masyarakat, akademisi, penggiat, ini saya yakin naskahnya akan lebih baik lagi" ucap dia.

Baca juga: Tokoh masyarakat tandatangani petisi desak peninjauan kembali RUU KUHP

Rian juga mengingatkan kepada DPR agar agar tidak menjadikan rancangan KUHP sebagai warisan pada periode saat ini.

"Jangan hanya berdasarkan ego sektoral ingin memaksakan produknya sekarang terjadi, lebih baik demi kepentingan bangsa dan negara diundur saja, dibongkar lagi, dibuka lagi, dikaji lagi, lalu disahkan di DPR periode berikutnya," kata dia.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019