Jakarta (ANTARA) - Riset yang dilakukan oleh Indonesia Indicator (I2) menyebutkan, aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung DPR/MPR dan berbagai daerah di Tanah Air menyedot perhatian netizen atau warganet di media sosial Twitter.

Indonesia Indicator (I2), di Jakarta, Kamis, mencatat sepanjang 22 September-26 September 2019 percakapan tentang aksi mahasiswa menolak revisi UU KPK dan pembahasan sejumlah RUU yang kontroversial di DPR mencapai 572.951 kicauan.

"Ada 148.744 akun yang membicarakan aksi mahasiswa. Sebanyak 95,7 persen atau 142.377 adalah akun manusia dan akun robot mencapai 6.367 atau 4,3 persen persen," kata Direktur Komunikasi I2, Rustika Herlambang, dalam keterangan tertulisnya.

Baca juga: KKAI minta Pemerintah hargai kebebasan berpendapat

Berdasarkan sebaran gender, sebanyak 43,7 persen netizen yang membicarakan aksi mahasiswa itu adalah perempuan dan 56,3 persen persen laki-laki.

Menurut Rustika, hal ini menarik karena perempuan cukup aktif dalam isu ini, dibandingkan dengan isu-isu politik lainnya.

Baca juga: Surat berlogo PMI ungkap kronologi tindakan kekerasan oknum Brimob

"Perempuan usia 18-25 tahun lebih aktif (49,3 persen). Perempuan di atas usia 35 tahun hanya 6,2 persen," kata Rustika.

Menurut dia, sebanyak 87,5 persen netizen yang merespons adalah kelompok milenial. Hanya terdapat 8,4 persen mereka yang berusia di atas 35 tahun, sementara kelompok usia 18 hingga 25 tahun memiliki proporsi terbanyak, yakni 45,4 persen.

Rustika memerinci, netizen usia 18 tahun sebanyak 4 persen, usia 18-25 tahun sebanyak 45,4 persen usia 26-35 tahun 42,1 persen dan di atas 35 tahun 8,4 persen.

Baca juga: Yohana berharap tidak ada lagi ajakan demonstrasi pelajar

Percakapan aksi mahasiswa, sempat mendapatkan respons dari kalangan netizen milenial hingga mencapai 91 persen karena karakter milenial yang suka mengikuti tren, ingin menjadi bagian perubahan, dan suka mengeksplorasi hal-hal yang baru.

"Beraktivitas di luar bersama-sama merupakan satu hal yang menarik, selain untuk menyuarakan apa yang menjadi pemikiran mereka," paparnya.

Indonesia Indicator juga mencatat ada beberapa tagar yang berkembang selama aksi mahasiswa berlangsung, antara lain, #HidupMahasiswa (1.321k kicauan), #STMmelawan (330k kicauan), #STMBergerak (79k kicauan), #stmmahasiswabersatu (35k kicauan), #AyoSemuaBergerak (153k kicauan), #iniMAHASISWA (14k kicauan), #DenniSiregarDicariAnakSTM (11k kicauan) dan #SurabayaMenggugat (11k kicauan), #TurunkanJokowi (141k kicauan) dan #KRITISIJANGANprovokasi (11k kicauan).

Baca juga: Disdik Jabar telusuri sebaran ajakan demontrasi kepada siswa di Garut

"Emosi netizen cukup menarik karena berimbang antara trust, anticipation, anger, dan joy," ucapnya.

Menurut Rustika, ada catatan menarik terkait emosi sesuai gender. Emosi terbesar perempuan adalah Trust, Anticipation, Joy. Emosi negatifnya, seperti "anger" lebih kecil.

Sementara, emosi terkuat netizen laki-laki adalah trust, anger dan disgust tinggi. Sementara emosi joy-nya relatif kecil.

Baca juga: Al Azhar gelar doa bersama untuk korban kekerasan dalam demo mahasiswa

Menurutnya, perempuan terlihat lebih menggunakan pernyataan-pernyataan yang mengandung unsur humor, meskipun kritis dalam merespons isu KUHP dengan humor dan canda.

"Sementara dilihat dari usia, emosi anak-anak milenial lebih ke emosi Trust, Anticipation, Joy dan Anger. Sementara untuk netizen di atas usia 35 tahun, emosi terbesarnya adalah Anger, disusul Anticipation," kata Rustika.

Emosi Anticipation, diantaranya berasal dari percakapan tentang ajakan untuk mengikuti aksi demo, harapan dan kekhawatiran sepanjang aksi, hingga ajakan membuat tagar.

Sementara emosi Trust, lanjut dia, dihasilkan dari konfirmasi mereka untuk ikut berdemo, mendukung aksi demo, meyakini bahwa RUU yang mereka perjuangkan tersebut bermasalah, termasuk juga bahwa revisi UU KPK dianggap akan melemahkan KPK.

"Emosi Anger rata-rata dipicu oleh kekesalan mereka terhadap aksi demo yang berujung kericuhan. Postingan foto dan video memengaruhi emosi ini," ujarnya.

Ia menambahkan, akun yang merespons isu aksi mahasiswa berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. 10 yang terbesar berasal dari DKI Jakarta (44,4 persen), Jawa Barat (21,9 persen), Jawa Timur (10 persen), Jawa Tengah (8,6 persen), dan Kalimantan Timur (3,5 persen).

        Dua Kubu
Melalui jejaring percakapan (Social Network Analysis/SNA), Rustika memaparkan, aksi mahasiswa mendapat respons dari dua kubu, yakni kelompok mahasiswa dan kelompok kontra Pemerintahan Jokowi. Jumlah netizen yang merespons mulai dari sebanyak 56 ribu hingga 112 ribu dalam sehari (12 jam).

Berdasarkan metode SNA, Indonesia Indicator mencatat, saat aksi mahasiswa berlangsung, jejaring terlihat tidak terlalu membentuk polarisasi, namun terbentuk kelompok dengan narasi yang berbeda, yaitu kelompok reaksi mahasiswa dan kelompok kontra pemerintah.

Netizen Pro Mahasiswa, kata Rustika, mencapai 81,8 persen, yakni terdiri dari 46.064 Akun, 1.583 Tagar, dan 153.95 Aktivitas. Akun-akun pada kelompok ini tertarik pada foto dan video amatir dari aksi masa yang berlangsung.

"Akun-akun pada kelompok ini secara umum menunjukkan kekecewaannya pada lembaga DPR RI," ucap Rustika.

Sementara, kelompok kontra pemerintah mencapai 18,2 persen terdiri dari 10.230 Akun, 310 Tagar, dan 24.879 Aktivitas. Kelompok ini ikut mendukung aksi mahasiswa, namun cenderung terlihat lebih menyalahkan Jokowi dalam cuitan akun-akun tersebut. Tagar #turunkanjokowi dan #saatnyapeoplepower digaungkan oleh kelompok ini.

Kelompok aksi mahasiswa kemudian "terbelah" saat ada kelompok Aksi Pelajar (STM). Akun-akun Kelompok Pro STM, mengapresiasi dan mendukung aksi massa STM. Netizen juga mengekspresikan emosi mereka kepada aparat atas kekerasan yang terjadi di hari sebelumnya.

Sementara, akun-akun kontra pemerintah, meskipun hanya sedikit, namun terlihat begitu masif membuat cuitan. Akun-akun ini, menyebarkan kondisi aksi massa STM dan aksi mahasiswa di hari sebelumnya, namun dengan menggunakan tagar #turunkanjokowi dan konten-konten yang meminta Jokowi untuk turun.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019