Wellington, Selandia Baru (ANTARA) - Puluhan ribu pelajar berkumpul untuk berpawai di seluruh Selandia Baru pada Jumat untuk melakukan pemogokan sekolah kedua yang direncanakan buat aksi iklim.

Babak paling akhir protes, dari rangkaian pawai akhir pekan oleh jutaan anak di seluruh dunia, direncanakan berlangsung di seluruh Asia dan Eropa sebelum mencapai puncaknya dalam pertemuan terbuka di Montreal, Kanada, tempat pegiat remaja Greta Thunberg dijadwalkan berbicara.

Thunberg, yang mendapat penghargaan karena mengilhami mogok sekolah, pekan ini mengecam para pemimpin dunia karena kurangnya kebijakan mengenai perubahan iklim di pertemuan puncak Aksi Iklim PBB di New York.

Di Selandia Baru, banyak protes diselenggarakan di kota besar dan kecil di seluruh negeri tersebut, kata Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta. Murid-murid membawa spanduk termasuk yang bertuliskan "Kami bolos pelajaran kami, jadi kami dapat mengajari kalian" dan "Kalian tak bisa mengabaikan perubahan iklim".

Penyelenggara Mogok Sekolah buat Iklim di Selandia Baru mencuit bahwa mereka telah menerima laporan yang dapat dipercaya bahwa 170.000 orang melakukan pemogokan di seluruh negeri tersebut, jumlah yang akan mewakiliki 3,5 persen penduduk negeri itu.

Media lokal menyebut jumlah massa di Ibu Kota Selandia Baru, Wellington, tempat pelajar menyampaikan satu petisi kepada Parlemen Nasional untuk menyeru pemerintah agar mengumumkan darurat iklim, sebanyak 40.000.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang berada di New York untuk menghadiri pertemuan puncak iklim, pada Kamis (26/9) mengumumkan ia mendapat dukungan dari negara lain buat kesepakatan dagang baru yang diusulkan guna memerangi perubahan iklim.

Ardern mengatakan perundingan akan dimulai di Norwegia, Islandia, Kosta Rika dan Fiji pada awal tahun depan, dan menambahkan ia berharap negara lain akan menandatangani.

Pemrotes di Selandia Baru kembali siap menghadapi argumentasi bahwa mereka mesti berada di sekolah, dan bukan berada di jalan untuk memprotes.

"Pendidikan saya bukan masalah, jika saya tidak memiliki masa depan atau jika saya tidak memiliki tanah," kata Elizabeth Glassie, pemrotes di Aucjland, kepada Radio New Zealand.

Baca juga: Pegiat iklim Greta Thunberg menangkan 'Penghargaan Nobel alternatif'

Baca juga: Wapres: Indonesia dukung inisiasi Aksi Iklim Berbasis Laut

Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019