Jakarta (ANTARA News) - Kisar, salah satu dari 92 pulau terluar Indonesia di Maluku yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 78/2005, kini tidak lagi terisolir setelah bertahun-tahun terlupakan dan sulit terjangkau. Kapal-kapal dari Surabaya, Ambon dan Kupang belakangan ini keluar masuk Kisar hampir setiap minggu. KM Wetar dan KM Tanimbar Permai selama ini bergantian berlayar dari Surabaya ke Kisar dan terus ke Ambon pulang-pergi setiap dua minggu. Belum lagi KM Maloli, KM Mitra Papua, dan kapal cepat KM Pangrano yang secara bergantian berlayar dari Ambon ke Kisar dan Kupang, Nusa Tenggara Timur, pulang pergi. Hal ini tentu sangat memudahkan warga Kisar untuk bepergian ke Ambon, Kupang, Surabaya, maupun daerah-daerah lain yang mereka kehendaki. Padahal beberapa puluh tahun silam mereka sangat sulit melakukan perjalanan karena sulitnya transportasi laut maupun udara saat itu. "Cukup dengan uang Rp30,000 dari Ambon, anda sudah bisa sampai di Kisar dalam waktu beberapa hari," kata Yunus Silkati, seorang pedagang asal Pulau Kisar di atas KM Maloli. Yunus Silkati mengatakan perjalanan KM Maloli dari Ambon ke Kisar sekitar lima hari dengan menyinggahi Saumlaki, Tepa, Damer, Roma, Kisar, Wetar, Kupang pulang pergi. "Kalau mau lebih cepat dan lebih nyaman lagi, silahkan ikut KM Pangrano tetapi anda harus membayar tiket Rp300,000 sekali jalan," katanya. Menurut Yunus, perjalanan dari Ambon ke Kisar dengan kapal cepat KM Pangrano hanya memerlukan waktu dua hari dengan menyinggahi Pulau Damer, Kisar, dan Kupang. Sementara itu warga Kisar lainnya yakni Yohanis Lewenmali Ratumali mengatakan Ambon, ibu kota provinsi, dengan Pulau Kisar di Maluku Barat Daya kini semakin dekat lagi. "Hanya dalam waktu satu jam 45 menit dengan uang Rp370,000 anda suda bisa berada di Kisar dari Ambon atau sebaliknya dengan pesawat Merpati setiap hari Senin dan Jumat," kata Yohanis. Transportasi udara antara Ambon dan Kisar semakin lancar setelah lapangan terbang di pulau itu diresmikan Agustus 1996 oleh Gubernur Maluku waktu itu M Akib Latuconsina. Lapangan terbang tersebut di Desa Purpura, Pulau Kisar, dibangun selama tiga tahun dan diresmikan oleh gubernur Maluku pada 5 Agustus 1996 itu merupakan lapangan terbang perintis yang ke-12 di Provinsi Maluku. Lapangan terbang di Kisar yang hanya bisa didarati pesawat kecil sejenis Casa 212 ini memiliki landasan pacu sepanjang 800 meter dan lebar 23 meter. Pembangunan lapangan perintis di Maluku dilakukan oleh pemerintah daerah Maluku sebagai upaya melancarkan sektor transportasi ke daerah-daerah terpencil di provinsi itu. Dalam peresmian lapangan terbang di Kisar, Gubernur Latuconsina waktu itu mengatakan masalah transportasi merupakan salah satu kendala yang dihadapi daerah itu sehubungan dengan kondisi geografisnya yang banyak dipisahkan oleh laut. Menurut Latuconsina, pemecahan persoalan transportasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan di Provinsi Maluku. Saat meresmikan lapangan terbang perintis di Kisar, Latuconsina mengatakan sarana itu dibangun atas pertimbangan bahwa dibalik keterpencilannya, Kisar ternyata memiliki kekayaan alam seperti tambang emas di Wetar. Kisah 'Cinta Mimhere' Sebelum transportasi dan komunikasi ke Pulau Kisar menjadi lancar seperti saat ini, hubungan antar pulau dilakukan dengan menggunakan perahu layar. Pada suatu saat di bulan Agustus 1968, terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan warga Kisar, khususnya masyarakat Desa Oirata. Persitiwa itu terjadi ketika sebuah perahu layar bernama "Cinta Mimhere" berlayar dari Kisar ke Ambon. Perjalanan Kisar-Ambon dengan perahu layar biasanya memerlukan waktu dua atau tiga hari, tetapi kali itu Mimhere mengalami nasib sial. Dua minggu setelah Mimhere bertolak dari Pelabuhan Nama di Kisar, tidak pernah ada kabar berita tentang nasib perahu itu beserta penumpangnya, entah sudah tiba di Ambon atau belum. Simon Dalkati yang turut berlayar dengan perahu Mimhere menuturkan bahwa saat melintasi Laut Banda, perahu itu terseret arus hingga terdampar di Pulau Moa dekat Kisar. Namun betapa sulitnya transportasi dan komunikasi saat itu sehingga penumpang perahu yang nahas itu tidak dapat memberikan informasi kepada sanak keluarga di Kisar bahwa mereka telah terdampar di Pulau Moa. Keluarga di Kisar pun telah putus asa dan meyakini perahu Mimhere telah tenggelam di Laut Banda tanpa seorangpun yang selamat. Keyakinan keluarga itu diperkuat lagi dengan para nelayan setempat yang menangkap seekor ikan hiu pada suatu hari di masa penantian itu. Di dalam perut ikan hiu tersebut terdapat rambut dan tulang belulang yang oleh masyarakat diyakini sebagai milik korban perahu Mimhere. Dengan tangisan dan airmata, keluarga korban perahu Mimhere kemudian memasukan rambut dan tulang belulang yang ditemukan dalam perut ikan hiu ke dalam peti mati dan dikuburkan sebagaimana layaknya pemakaman seorang yang telah meninggal. Tetapi lima minggu kemudian setelah sanak keluarga melupakan peristiwa itu, perahu Mimhere yang tadinya terdampar di Pulau Moa kembali mendarat di Kisar dengan keadaan selamat. Air mata duka cita yang berderai selama masa penantian itu pun berubah menjadi air mata suka cita saat ada pertemuan menyusul kembalinya perahu Mimhere ke Kisar. Memang, transportasi laut antara Kisar dengan pulau-pulau sekitarnya, khususnya dengan kota kabupaten di Tual dan ibu kota provinci di Ambon pada masa itu masih merupakan tantangan besar bagi perkembangan Pulau Kisar. Pelayaran antar pulau waktu itu dilakukan dengan perahu layar dan kapal perintis dengan frekuensi sekali dalam sebulan. Perjalanan dari Ambon sampai di Kisar dan sebaliknya dengan kapal perintis pada waktu itu memerlukan delapan hari dengan pelayanan yang sangat tidak menyenangkan bagi para penumpang. Para penumpang itu disatukan berjubel dengan ternak ayam, kambing, dan barang lainnya yang dimuat kapal perintis tersebut, sambil mereka menikmati bau busuk selama delapan hari pelayaran. Namun semua itu kini telah menjadi sejarah. Masyarakat Kisar saat ini tidak seperti dahulu lagi karena Kisar bukan lagi sebagai daerah terisolir yang terlupakan. (*)

Oleh Oleh Otniel Tamindael
Copyright © ANTARA 2008