Jakarta (ANTARA) - Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) yang mengaku keberatan dengan revisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 menyoroti dampak terhadap perlindungan data publik akibat substansi sebagian draft dari revisi tersebut.

"Setelah mempelajari dan mengupas draft revisi PP 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang kami terima pekan lalu melalui salah satu anggota, kami menganggap perlu untuk menyatakan sikap keberatan dan memberikan masukan terhadap beberapa bagian dari draft tersebut," kata Andi Budimansyah, Ketua Umum FTII dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.

FTII menyoroti beberapa bagian dari draft tersebut yang tidak selaras dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah lainnya yaitu UU 25 Tahun 2009 dan PP 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik.

Ketidakselarasan tersebut ditemukan pada bagian definisi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik. FTII menilai perbedaan definisi itu membuat draft PP terkesan ingin berjalan sendiri.

Baca juga: Masukan Google untuk RUU Perlindungan Data Pribadi

Keselarasan tersebut penting mengingat setiap penyelenggara pelayanan publik menjalankan misi negara sebagaimana tertuang pada Alinea 4 Pembukaan UUD 1945.

Selain itu, terdapat definisi baru yang pada draft tersebut yaitu Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik yang membatasi pada instansi dan institusi negara saja, dan tidak mencakupi Penyelenggara Pelayanan Publik lainnya yang menjalankan misi negara. Hal itu tidak sejalan sebagaimana dimaksud pada UU 25 Tahun 2009.

Andi mengatakan jika implementasi atas definisi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik tersebut akan berpengaruh besar terhadap praktek perlindungan data publik.

"Jika sebelumnya semua data yang digunakan dalam melayani rakyat Indonesia wajib ditempatkan di dalam wilayah hukum Indonesia, nantinya kewajiban tersebut dan hanya berlaku bagi instansi dan institusi negara saja yang merupakan bagian sangat kecil dari kumpulan data publik yang perlu dilindungi," ujar Andi.

Baca juga: CISSReC: Penghimpunan data masyarakat perlu ditertibkan

Dengan definisi itu pula, menurut Andi, semua layanan elektronik non-pemerintah tidak perlu ditempatkan pada wilayah hukum Indonesia. Efek samping kebijakan itu pada akhirnya adalah peluang investasi dari industri data center yang telah berkembang pesat sejak PP 82/2012 berlaku akan hilang.

Selain itu, penempatan data publik bukan di wilayah Indonesia itu akan menyulitkan penegakan hukum oleh aparat karena harus meminta izin dan berkordinasi lebih lanjut kepada otoritas di mana data tersebut ditempatkan.

Di dalam draft Revisi PP 82/2012 itu juga terdapat definisi baru yaitu Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Penggunaan nomenklatur privat tersebut terkesan bahwa negara mengatur lingkup/wilayah privat dari sebuah organisasi nonpemerintah.

“Mengingat saat ini dorongan pemerintah dan publik terhadap kebutuhan atas UU Perlindungan Data untuk segera diundangkan begitu besar, kami mengusulkan agar perubahan PP 82/2012 menunggu pengesahan UU Perlindungan Data terlebih dahulu," kata Andi.

Baca juga: Pengamat: Segera terbitkan UU Perlindungan Data Pribadi

Pewarta: Suryanto
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019