Jakarta (ANTARA) - Penerapan "free to air" atau siaran gratis oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) dinilai sejumlah akademisi dapat mendorong pemerataan informasi hingga ke wilayah perbatasan yang saat ini masih belum terjangkau pemancar tv swasta.

"Dengan adanya program tersebut dapat membantu kepentingan masyarakat di wilayah ekonomi kurang maju dan wilayah perbatasan untuk memperoleh informasi serta dapat memperluas bisnis mereka," kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, Dr Elva Ronaning Roem, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Elva mengutarakan keprihatinannya karena masih banyaknya warga masyarakat yang belum bisa menikmati layanan tv swasta free to air. Ia juga sangat mendukung keputusan KPI dalam rakornas KPI pada tahun 2019 yang merekomendasikan penerapan siaran free to air atau gratis di lembaga penyiaran berlangganan.

Baca juga: Akademisi apresiasi rekomendasi kebijakan siaran gratis dari KPI

Selain itu, ujar dia, pemerintah juga diharapkan dapat mendorong pemerataan informasi melalui program yang inovatif dari pemerintah daerah untuk kepentingan wilayah ekonomi kurang maju dan perbatasan agar dapat membendung informasi dari negara lain.

Senada, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana Prof Dr Alo Liliweri sangat setuju dengan kebijakan KPI di Rakornas kaena akan menguntungkan masyarakat di daerah karena bisa menikmati siaran hiburan, pendidikan, informasi yang sangat murah sehingga mereka akan tahu semua yang disiarkan, terutama untuk pedesaan dan perbatasan.

Sebelumnya, Guru Besar Universitas Hasanudin Makassar dan ahli hukum penyiaran, Prof Judhariksawan menyatakan Komisi Penyiaran Indonesia yang mendukung Lembaga Penyiaran Berlangganan untuk menerapkan siaran free to air penting untuk pemerataan informasi.

"Kita ketahui, masyarakat Indonesia masih banyak yang tinggal di daerah terpencil, di daerah perbatasan, di pulau terluar Indonesia yang mana mereka tidak bisa menjangkau siaran TV swasta free to air," kata Judhariksawan.

Untuk itu, ujar dia, hadirnya TV kabel yang tergabung dalam Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) dinilai telah membantu Pemerintah untuk menyiarkan siaran TV swasta jauh ke pelosok daerah.

Judhariksawan yang juga mantan Ketua KPI Pusat itu juga berpendapat bahwa pelaku LPB ini adalah sekumpulan pengusaha UKM di daerah yang patut didukung.

Ia mengatakan jika ada polemik antara para pelaku LPB dengan TV swasta, sebaiknya dilihat terlebih dahulu beberapa faktor dari berbagai dimensi,karena apa yang diputuskan KPI harus dilihat dalam sudut pandang dan kepentingan masyarakat.

Namun Judhariksawan mengingatkan bahwa hendaknya pengelola TV LPB (kabel dan satelit) selain memperhatikan pemerataan informasi juga harus memperhatikan bahwa tidak semua TV swasta menyiarkan hal yang baik.

Dengan demikian, lanjutnya, perlu adanya penyaringan informasi dan lebih mengedepankan isi penyiaran yang mengandung unsur edukatif, karena mereka lebih dekat dengan negara tetangga (khusus untuk di daerah pulau terluar dan perbatasan) jadi harus lebih banyak hiburan atau film yang menceritakan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, menurut Judhariksawan untuk mengatasi masalah antara pelaku LPB (kabel dan satelit) dengan TV swasta free to air seharusnya dilakukan duduk bersama untuk mencari solusi.

Sebagaimana diketahui, KPI se-Indonesia dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) pada tanggal 1-2 April tahun 2019, telah bersikap dan telah mengeluarkan rekomendasi bahwa program siaran free to air gratis di Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau Hisam Setiawan menyatakan bahwa sikap KPI ini karena KPI sedang menjaga kepentingan masyarakat di wilayah ekonomi kurang maju dan wilayah perbatasan yang hanya bisa mengakses siaran tv swasta menggunakan perangkat parabola dan berlangganan TV kabel.

"TV-TV swasta free to air banyak yang belum membangun pemancar terestrial di wilayah wilayah tersebut, karena secara bisnis kurang menguntungkan," ujarnya.
 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019