Jakarta (ANTARA) - Apa potensi Indonesia? Jawabnya negara kita dikatakan negeri yang subur. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Lo, itu seperti yang tertera pada bait syair lagu yang diciptakan Yok Koeswoyo, dinyanyikan bersama band-nya yang beken pada era 1970-an, Koes Plus.

Hingga saat ini, pada  usia 74 tahun, kita tentu melihat banyak potensi yang dimiliki Indonesia. Namun, Indonesia masih belum memaksimalkan potensinya itu.

Adapun potensi itu seharusnya bisa dimaksimalkan oleh pemimpin yang punya gagasan berlian dan mampu mengeksekusi kebijakan dengan tepat sasaran.

Joko Widodo yang terpilih kembali sebagai Presiden RI mengatakan bahwa pemerintahannya ke depan fokus pada tiga hal meliputi penguatan fondasi pada penyelesaian proyek infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan reformasi birokrasi.

Lima tahun yang lalu, pemerintah fokus pada infrastruktur. Saat baru menjabat, Jokowi merasa infrastruktur Indonesia saat itu tidak siap sehingga pemerintah fokus membangun infrastruktur. Hingga waktu lima tahun, fondasi kini mulai terbentuk meski belum selesai dan tetap harus dilanjutkan.

Lima tahun ke depan, Presiden menegaskan bahwa pemerintahannya masih berkutat pada penyelesaian infrastruktur sambil bergeser ke strategi pembangunan lainnya, yaitu pembangunan SDM.

Baca juga: Wujudkan SDM unggul, mulai dari guru

"Itu nanti juga fondasi. Meskipun nanti dua-duanya, sebetulnya kalau kita hitung secara return politik dan return ekonomi tidak bisa langsung dinikmati. Akan tetapi itu, perlu," kata Jokowi.

Jokowi yakin fondasi pembangunan SDM yang akan membawa negara ini pada sebuah negara yang efisien sehingga Indonesia bisa berkompetisi dengan negara lain. Meskipun, secara return politik dan return ekonominya tidak bisa langsung dinikmati masyarakat.

Jokowi juga memiliki fokus yang ketiga, yaitu penguatan reformasi birokrasi dan reformasi struktural untuk merespons perubahan zaman yang begitu cepat. Menurut Jokowi, reformasi birokrasi akan mendorong negara berjalan makin efisien.

Jokowi menyebutkan tiga hal tersebut akan membuat mobilitas barang, orang, jasa, dan logistik yang banyak tidak lagi terhambat dan biaya-biaya yang tadinya tinggi karena tidak tertangani dengan baik menjadi turun.

“Tiga hal itu yang menurut saya yang sangat diperlukan negara kita agar kita tidak terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) yang menurut saya, banyak dialami negara-negara lain,” katanya.


Tanggapan Tokoh

Tokoh politik senior Akbar Tanjung memiliki pandangan yang sama dengan Presiden. Menurut dia, Indonesia jika ingin maju harus memiliki strategi penguatan sumber daya manusia.

"Pembangunan SDM menjadi tantangan utama kita dalam prioritas pembangunan ke depan," ujar Akbar di Jakarta, Sabtu.

Indonesia dikatakan akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030. Pada saat itu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk usia nonproduktif.

Baca juga: LIPI tekankan peran penting keluarga dalam penyiapan SDM

Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 itu, pemerintah harus bisa memanfaatkan SDM yang melimpah secara optimal. SDM akan menjadi faktor yang menentukan di dalam mewujudkan Indonesia maju.

Menurut Akbar, keberhasilan pembangunan SDM unggul jika terdapat kemajuan-kemajuan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, khususnya di bidang ekonomi.

Untuk memajukan ekonomi, diperlukan SDM yang terampil dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat menyesuaikan diri menghadapi perubahan-perubahan zaman yang berkembang sangat cepat. Akbar meyakini bangsa ini pertumbuhan ekonominya bisa lebih dari 5 persen seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentunya syaratnya banyak, terkhusus memiliki SDM yang mumpuni untuk mengoptimalkan sumber daya alam dan perkembangan teknologi. Pasalnya, SDM merupakan kunci kesejahteraan dan kemajuan bangsa sehingga harus jadi prioritas pembangunan.

Ketua pengurus organisasi massa Islam Robikin Emhas juga mengingatkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin bahwa SDM merupakan modal penting Indonesia menghadapi dinamika ke depan.

"SDM adalah modal utama bagi pembangunan. Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi, yakni bonus usia produktif," kata Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu.

Baca juga: PBNU ingatkan pemerintah baru soal bonus demografi

Bonus demografi, menurut Robikin, harus diarahkan untuk menghadirkan keunggulan-keunggulan, menciptakan inovasi-inovasi yang berdaya saing yang bisa menyelesaikan tantangan kemiskinan, disparitas, dan sebagainya.

Selain itu, Robikin mengatakan pemimpin yang baru juga patut membangun dengan memperhatikan visi keumatan dan kebangsaan dimana Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi kekuatan utama perekat kebangsaan.

Pancasila, menurut dia, belum seluruhnya terimplementasi dengan baik ke masyarakat meski sudah menjadi ideologi negara. Akibatnya, masih terjadi banyak konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), politisasi agama, dan sebagainya.

Indonesia juga harus dipimpin dengan visi keteladanan. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan teladan. Dengan memberikan teladan sikap dan perilaku, menurut dia, tidaklah susah bagi seorang pemimpin untuk mengarahkan kemudi kepemimpinan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

Profesor I Gede Wenten menilai Indonesia sebagai negara yang memiliki SDM melimpah. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) harus menjadi kunci pembangunan negara.

Menurut Wenten, implementasi dari apa yang ia inginkan di dalam pembangunan adalah pemerintah mewujudkan suatu inovasi iptek di bidang industri tepat guna dan berkelanjutan.

"Memenangkan industri. Itu masalah disiplin saja. Bangun sainsnya, terutama iptek," ujar Guru Besar Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung itu dalam diskusi Sarasehan Kebangsaan di Jakarta, Sabtu.

Jika tak ingin kedodoran dari sektor iptek, pemerintah harus memperkuat pertahanan melalui pengembangan inovasi teknologi. Presiden harus membangun pusat riset teknologi di Indonesia. Di sana harus dibangun sistem berbudaya ilmiah yang unggul.

"Industri unggul Indonesia harus dikedepankan. Masa kita kalah dengan Singapura," ujar dia.

Baca juga: Menperin sebut SDM kuasai teknologi topang ekonomi berbasis inovasi

Kabinet Nonpartai

Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Joko Widodo diharapkan lebih memilih menteri dari kalangan profesional nonpartai politik daripada kalangan partai politik (parpol) dalam menyusun Kabinet Kerja selanjutnya.

Salah satu keuntungan kalangan profesional adalah lebih loyal kepada Presiden sehingga tak ada tarik-menarik politik. Tanpa beban politik maka menteri akan fokus melaksanakan tugas yang diberikan Presiden.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai figur menteri dari kalangan profesional akan lebih berani mengambil keputusan dan mengeksekusi sebuah kebijakan yang digariskan oleh Presiden Jokowi.

Menteri dari kalangan profesional diyakini juga bisa mendongkrak citra Jokowi karena mereka memiliki keahlian di bidangnya, bersih, dan siap bekerja mengeksekusi kebijakan.

"Tentu bisa mengangkat citra Jokowi. Kerena kalangan profesional itu lebih bersih, ahli, dan bekerja untuk membantu Presiden dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang sudah digariskan," kata Ujang di Jakarta, Sabtu.

Senada dengan Ujang, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan bahwa periode kedua Jokowi dibantu menteri profesional yang tak terafiliasi partai politik.

"Kabinet pada periode kedua Jokowi harus profesional dan tak terbebani kepentingan politik sempit," kata Siti di Jakarta, Selasa (15/10).

Baca juga: Jaksa Agung diharapkan dari figur non-partai

Ia mengingatkan kabinet ke depan harus menyesuaikan dengan kebutuhan Indonesia yang sedang menghadapi tantangan dari luar, seperti masalah ekonomi global.

Survei yang dilakukan Katadata Insight Center mengungkap data bahwa para investor menghendaki tim ekonomi di Kabinet Jokowi, terutama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan, harus merupakan para profesional.

Harapan itu tertuang dari Indeks Kepercayaan Investor hasil survei Katadata Insight Center (KIC) pada kuartal kedua Juli 2019.

Mayoritas partisipan survei tersebut berharap tim ekonomi Kabinet diisi profesional saja tanpa ada sosok yang terafiliasi partai politik. Jumlahnya mencapai 65 persen. Hanya tiga persen partisipan yang menilai tim ekonomi idealnya diisi politikus seluruhnya.

Sebanyak 32 persen partisipan tak masalah jika ada politikus di dalam tim ekonomi Kabinet Kerja Jilid II, asalkan jumlahnya berimbang dengan profesional yang tak terafiliasi partai politik.

Untuk posisi Menteri Keuangan, sebanyak 96 persen partisipan sepakat kalau sosok Menteri Keuangan berikutnya berasal dari profesional murni, khususnya investor asuransi, sedangkan untuk posisi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebanyak 89 persen partisipan sepakat kalau posisi itu diisi profesional murni.

Peran dan kinerja menteri dari kalangan profesional pada periode 2014-2019 ternyata lebih disukai publik.

Baca juga: Menteri dari kalangan profesional fokus bekerja tanpa pikirkan politik

Itu berdasarkan hasil riset yang dilakukan Alvara Research Center. Berdasarkan survei, publik ternyata lebih puas dengan menteri yang berasal dari kalangan profesional. Tak heran, lima menteri peringkat teratas terbaik selama pemerintahan Jokowi-JK berasal dari kalangan profesional.

"Itu artinya, publik mengakui kinerja dari menteri dengan latar belakang profesional," kata CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali dalam keterangan resminya, di Jakarta.

Namun, Presiden Jokowi pernah mengatakan bakal mengisi kabinetnya dengan komposisi 45 persen dari kalangan parpol dan 55 persen dari kalangan profesional.

Menurut Jokowi, susunan Kabinet Kerja Jilid II telah rampung. Namun, dia masih merahasiakan identitas para menteri tersebut.

"Saya akan umumkan segera setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024 pada tanggal 20 Oktober, bisa pada hari yang sama atau setelahnya," kata Presiden Jokowi lewat akun resmi Instagramnya @jokowi. Cita-cita untuk membentuk kabinet nonpartai makin mustahil karena baik koalisi maupun oposisi tidak mungkin tidak meminta posisi sebagai menteri.

Apalagi, parpol koalisi yang telah berjuang dari nol mendukung Jokowi-Ma'ruf, menjadi salah satu faktor memicu kesulitan tersendiri untuk Jokowi menyusun kabinet nonpartai.

Baca juga: Presiden Jokowi diharapkan perbanyak menteri dari kalangan profesional

Di sisi lain, koalisi parpol yang mendukung Jokowi-Ma'ruf menguasai mayoritas kursi di Parlemen. Itu membuat Jokowi mau tak mau mesti berkompromi dengan ketua umum parpol tersebut agar seluruh fraksi di parlemen secara bulat mendukungnya tanpa perlu ada gesekan yang menghambat program pemerintah.

Manuver yang dilakukan oposisi juga faktor pemicu kesulitan kedua terwujudnya kabinet nonpartai. Seperti yang dikatakan Akbar Tanjung, hendaknya publik melihat manuver itu sebagai suatu cara oposisi memperkuat kelembagaan dan kekuatan politiknya untuk meningkatkan mekanisme checks and balances.

"Wajar saja kalau seandainya yang duduk dalam kabinet adalah mereka yang bukan pendukung Pak Jokowi," ujar Akbar di Jakarta, Sabtu.

Penguatan itu mengingat di dalam berpolitik sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Menurut Akbar, checks and balances diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

"Kekuasaan itu tentu harus diimbangi, selalu diawasi, itu yang dinamakan mekanisme checks and balances. Partai-partai memosisikan kekuatan membangun sistem politik berbasis kepada sistem checks and balances," ujar Akbar.

Mekanisme checks and balances merupakan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antarlembaga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing.

Oleh sebab itu, Akbar menganggap sah-sah saja bila setiap partai politik yang berkontestasi dan tidak mendukung Presiden Joko Widodo, menduduki posisi menteri di kabinet dalam rangka memperkuat mekanisme checks and balances tadi.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019