kenaikan harga beras itu antara lain adalah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah penghasil beras di Indonesia.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pihak menginginkan pemerintah dapat benar-benar mengantisipasi gejolak harga komoditas beras yang kemungkinan bakal terjadi pada penghujung  2019.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa dalam jangka waktu beberapa bulan belakangan, harga diperkirakan terus mengalami kenaikan.

Menurut Galuh Octania, faktor yang mempengaruhi kenaikan harga beras itu antara lain adalah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah penghasil beras di Indonesia.

Kekeringan tersebut menyebabkan naiknya harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) yang pada akhirnya akan berimbas pada kenaikan harga beras di tingkat konsumen.

Per September 2019, harga GKP di tingkat petani tercatat berada di level Rp 4.905 per kilogram. Berdasarkan data BPS, jumlah ini meningkat sebesar 3,07 persen dari bulan sebelumnya sebesar Rp 4.759 per kilogram.

Hal yang sama terjadi pada GKG yang naik menjadi Rp 5.392 per kilogram dari yang sebelumnya tercatat sebesar Rp 5.309 per kilogram.

Untuk itu, berbagai upaya antisipasi perlu terus dilakukan untuk menjaga ketersediaan beras di pasar, serta Bulog juga dinilai perlu berinovasi agar proses serapan berasnya bisa berjalan lancar dan memenuhi target. "Walaupun hal ini agak sulit karena Bulog terkendala HPP dan juga terkena imbas dari kekeringan yang terjadi," ujar Galuh.

Baca juga: Peneliti sebut padi hibrida tingkatkan produktivitas beras

Ia berpendapat bahwa walaupun kenaikan yang terjadi terbilang tipis, tapi hal ini sudah berlangsung selama lima bulan terakhir dan dikhawatirkan akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Belum lagi ketika musim panen sudah lewat dan mempengaruhi penyerapan gabah petani yang  akan terus berkurang.

Ditambah dengan  perayaan Natal dan tahun baru yang akan datang, diprediksikan bahwa permintaan akan beras akan terus meningkat.


Produktivitas pangan
Terkait dengan peningkatan produksi, Galuh mengingatkan bahwa perluasan lahan bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional.

Apalagi, perluasan lahan pertanian saat ini sulit dilakukan mengingat terbatasnya jumlah lahan yang masih memungkinkan untuk dipakai untuk kegiatan pertanian dan jumlah penduduk yang terus meningkat.

Beberapa hal yang menyebabkan sulitnya perluasan lahan pertanian terwujud, salah satunya adalah gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Industrialisasi dan pembangunan infrastruktur tidak jarang harus mengorbankan lahan pertanian.

Baca juga: Bulog Sumut gelontorkan 13.622 ton beras tekan lonjakan harga

Selain itu, ujar dia, jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka.

Karena itu, pemerintah juga seharusnya meningkatkan kapasitas petani dengan mengadakan pelatihan, memberikan penyuluhan dan bimbingan soal penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam.

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu memikirkan bagaimana memberikan petani akses permodalan yang skema pembayarannya termasuk ramah terhadap kegiatan bercocok tanam mereka.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat antara 2003 hingga 2013, terdapat 1 persen penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki lahan.

Ketika jumlah rumah tangga yang memiliki lahan pertanian antara 1 hingga 1,9 hektare dan kurang dari 3 hektare meningkat masing-masing Rp700.000 dan Rp300.000, lebih dari 5 juta rumah tangga yang memiliki kurang atau sama dengan 0,1 hektare sudah kehilangan status kepemilikan lahan. Mereka berpotensi menjadi buruh tani yang tidak memiliki lahan.

Baca juga: Bulog Surakarta siapkan 37.000 ton beras untuk OP

Padi hibrida
CIPS merekomendasikan pengembangan padi hibrida, yang memiliki produktivitas musiman rata-rata 7 ton/ha, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan produktivitas padi inbrida yang hanya mencapai 5,19 ton/ha.

Keuntungan lainnya adalah luas tanam padi hibrida hanya kurang dari satu persen dari total luas tanam padi di Indonesia dan telah mengalami stagnasi atau kemandekan selama beberapa tahun.

Untuk itu, pemerintah perlu memasukkan padi hibrida ke dalam prioritas perencanaan pembangunan pertanian. Padi hibrida memang belum dimasukkan ke dalam program utama yang terkait dengan perencanaan pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN.

Alasan untuk kurangnya prioritas ini mungkin adalah karena statistik kuantitas produksi beras nasional di Indonesia telah lama dibesar-besarkan. Baru belakangan data ini dikoreksi menggunakan metode Kerangka Sampel Area.

Dengan statistik resmi yang menunjukkan tingkat produksi beras yang mencukupi, pembuat kebijakan tidak terdorong untuk berfokus pada peningkatan produktivitas, yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pengembangan padi hibrida.

Galuh juga menyoroti UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang dinilai berpotensi tidak berpihak kepada petani kecil.

Ia berpendapat bahwa hal ini karena indikasi ada pembatasan ruang gerak petani dari beberapa pasal, seperti pasal 27 ayat (3) dan pasal 29 ayat (3).

Pasal 27 ayat (3) menimbulkan kontroversi karena menyebutkan petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik harus melaporkan ke pemerintah.

Menanggapi hal ini, ujar dia, seharusnya pemerintah menjadi pihak yang proaktif dan bertanggung jawab untuk mengumpulkan data dari petani.

Pasal 29 ayat (3) tertuang pernyataan yang menerangkan bahwa varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu wilayah kota/kabupaten.

Hal tersebut dinilai sangat membatasi ruang gerak petani dan tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman. Putusan MK justru memperbolehkan petani kecil mengedarkan varietas hasil pemuliaannya tanpa ada wilayah yang membatasi.


Perkaya plasma nutfah
Galuh menegaskan, kegiatan pemasaran ke wilayah lain oleh petani, walaupun itu lewat petani kecil, merupakan kesempatan yang baik untuk memperkaya plasma nutfah dan benih-benih lokal di Indonesia.

Di luar dari kedua pasal yang kontroversi ini, beberapa pasal di UU ini kali ini juga sudah ditambahkan dan dapat mengakomodasi keterlibatan sektor swasta untuk juga dapat mengimpor benih dari luar negeri untuk tujuan pemuliaan, walaupun tetap saja ini dibatasi hanya jika benih yang dibutuhkan tidak tersedia dalam negeri.

Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai stok milik Bulog belum mampu menahan pergerakan harga beras yang mulai mengalami kenaikan.

Rusli dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (3/10), mengatakan kenaikan harga beras saat ini terjadi di berbagai daerah karena kebutuhan konsumsi tiap bulan 2,5 juta ton hanya mampu dipenuhi oleh produksi 1,5 juta ton.

Kondisi ini menjadikan beras sebagai komoditas penyumbang inflasi sebesar 0,12 persen pada September 2019, padahal sebagian besar kelompok bahan makanan di periode ini mengalami penurunan harga dan memberikan kontribusi kepada deflasi.

Rusli memperkirakan bahwa kondisi kenaikan harga beras ini akan terus berlanjut hingga Desember 2019 karena produksi beras mulai terbatas serta tidak adanya masa panen hingga akhir tahun.

Oleh karena itu, ia mengharapkan adanya manajemen stok beras yang lebih memadai, agar kenaikan harga beras jelang akhir tahun tidak selalu menimbulkan keresahan bagi masyarakat.


Fenomena berulang
Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menambahkan defisit produksi beras yang menyebabkan  kenaikan harga di pasaran merupakan fenomena berulang setiap tahun.

Dwi Andreas mengharapkan pemerintah mencermati pola ini dan menyiagakan stok beras dalam beberapa bulan ke depan, karena produksi 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018 dan masa paceklik selesai pada Maret 2020.

"Penurunannya kira-kira setara dengan dua juta ton beras dibandingkan 2018, jadi harus diselamatkan sampai paling tidak Februari. Maret mungkin sebagian sudah panen, tapi tidak bisa langsung ke konsumen," ujarnya.

Namun, ia menilai stok Bulog telah mencukupi untuk saat ini, meski penghitungan secara cermat penting dilakukan agar kebutuhan masyarakat terhadap bahan pangan pokok tetap terpenuhi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta Perum Bulog untuk melakukan operasi pasar beras kualitas medium di berbagai wilayah Indonesia, untuk menekan kenaikan harga bahan pangan tersebut.

Enggartiasto Lukita di Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (4/10), menjelaskan, operasi pasar yang dilakukan bukan berupa penjualan beras medium oleh Perum Bulog di depan pasar rakyat, seperti pada waktu yang lalu. Namun, seluruh pedagang di pasar rakyat harus menyediakan beras Bulog sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).

Mendag menjelaskan, memang pada September 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  deflasi sebesar 0,27 persen. Namun demikian, kelompok padi-padian dan umbi-umbian mengalami kenaikan harga sebesar 0,13 persen dan memberi andil inflasi 0,01 persen.

Menurut dia, kenaikan harga beras tersebut, harus diwaspadai mengingat berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa musim penghujan di Indonesia diperkirakan baru akan terjadi pada November 2019.

Ketersediaan beras kualitas medium di pasar rakyat dengan HET yang ditetapkan pemerintah tersebut, lanjutnya, dinilai perlu guna menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Dengan  langkah yang tepat dalam mencegah potensi kenaikan harga beras di penghujung tahun, hal itu juga dinilai akan dapat menjaga tingkat ketahanan pangan khususnya bagi warga marjinal.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019