Kampanye 16 hari kalau saya lihat dan cermati sudah banyak disuarakan yang mulanya ini tidak terlalu banyak dan masih kurang familiar
Jakarta (ANTARA) - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaran Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) mengatakan kampanye 16 hari perang melawan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan telah menuai keberhasilan karena gerakan itu saat ini menjadi pesan bersama yang disuarakan banyak kalangan baik secara langsung dalam forum-forum terbuka maupun lewat media sosial, kata Spesialis Manajemen Program UN Women, Lily Puspasari di Jakarta, Senin.

Bagi Lily, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk ikut menyuarakan pentingnya melawan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan menjadi salah satu pencapaian dari kampanye 16 hari yang telah agenda tahunan PBB serta komunitas internasional tiap 25 November sampai 10 Desember.

"Kampanye 16 hari kalau saya lihat dan cermati sudah banyak disuarakan yang mulanya ini tidak terlalu banyak dan masih kurang familiar, sekarang tidak harus dari kelompok yang biasa (misalnya aktivis, red), tetapi kampanye 16 hari sudah disuarakan banyak kelompok misalnya grup-grup berbasis agama, ataupun mereka yang awalnya takut bersuara di sosial media. Buat saya ini salah satu progress (keberhasilan, red) karena kampanye ini jadi message (pesan, red) bersama," kata Lily dalam sesi jumpa pers acara "Generation Equality" di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI) Thamrin, Jakarta.

Gerakan 16 Hari Aktivisme Perang Melawan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (the 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence against women) merupakan kampanye global yang dimulai oleh sejumlah aktivis di berbagai negara pada 1991 pada 25 November (Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Internasional) sampai 10 Desember (Hari Hak Asasi Manusia Dunia). Kampanye yang telah melibatkan kurang lebih 6.000 organisasi dari 187 negara juga memperingati beberapa hari penting, di antaranya 29 November (Hari Pegiat HAM Perempuan Dunia), 1 Desember (Hari AIDS Dunia), dan 6 Desember (Peringatan Pembantaian di Montreal).

Walaupun demikian, ia juga menyebut keberhasilan kampanye perang melawan kekerasan terhadap perempuan juga diikuti oleh narasi tandingan oleh beberapa kelompok masyarakat yang mengatasnamakan pembela tradisi atau ajaran agama tertentu.

Baca juga: Sosiolog: Kekerasaan tidak bisa dilepaskan dari ideologi gender

"Adanya narasi tandingan ini dapat membuat korban tidak mencari solusi atau pertolongan karena terlalu banyak stigma yang melekat. Oleh karena itu, pesan ini yang ingin kami suarakan. Pesan saya, norma sosial itu bukan sesuatu yang baku (tidak dapat berubah, red). Itu semua dibentuk, dan di saat kita berani membongkarnya (tindakan memaklumi kekerasan seksual, red) maka akan terbentuk norma sosial yang baru," tambah Lily.

Oleh karena itu, UN Women mengajak partisipasi aktif seluruh kelompok masyarakat untuk terus mengampanyekan pentingnya menghentikan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
 
Dua perempuan berjalan melewati poster kampanye "16 Hari Aktivisme Perang Melawan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan" yang dipasang di depan Pusat Kebudayaan Prancis (IFI) Thamrin, Jakarta, Senin (9/12/2019). Kampanye 16 hari yang menjadi agenda tahunan dunia berlangsung tiap 25 November sampai 10 Desember. (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)


Dalam laman resminya, kampanye 16 hari itu memiliki sejumlah misi, di antaranya menyuarakan bahwa kekerasan berbasis gender terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu menjadi isu di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Tidak hanya itu, kampanye 16 hari juga bertujuan meningkatkan jejaring para pegiat, menyediakan forum untuk berdiskusi dan merancang strategi, serta menunjukkan solidaritas terhadap para penyintas dan perempuan, serta menyediakan perangkat bagi pemerintah untuk ikut memerangi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Untuk 2019, Lily menyebut kampanye 16 hari yang disuarakan lebih dari 300 juta warga dunia mengambil tema “Orange the World: Generation Equality Stands against Rape Culture!” atau Generasi yang Menuntut Kesetaraan, Generasi yang Hadir Menolak Tindak Pidana Perkosaan atau Budaya Perkosaan.

Baca juga: MUI : Perlu peran tokoh lintas agama akhiri kekerasan berbasis gender
Baca juga: Pemerintah ingin pers berpartisipasi akhiri kekerasan berbasis gender
Baca juga: Mewujudkan dunia kerja bermartabat melalui Konvensi ILO No.190

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2019