Kupang (ANTARA) - Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan SH. MHum mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan ruang bagi mantan narapidana koruptor ikut mencalonkan diri dalam pilkada adalah putusan yang tidak memberikan rasa keadilan.

"Putusan seperti ini tidak memberikan rasa keadilan, karena pilkada adalah mekanisme seleksi pejabat, dimana calon yang buruk dikesampingkan dan yang baik dipilih," kata Johanes Tuba Helan, di Kupang, Kamis.

Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan putusan MK yang membolehkan mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Baca juga: Putusan MK terkait eks napi koruptor ikut pilkada kontraproduktif

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

UU tersebut tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-undang.

Salah satu poin yang menjadi putusan MK adalah mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.

Baca juga: Pemerintah sambut baik putusan MK soal mantan napi korupsi

Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu menambahkan, pilkada adalah salah satu mekanisme untuk melakukan seleksi terhadap pejabat dan memilih figur yang baik.

"Maka pada tahap pencalonan harus diseleksi memang yakni mantan napi koruptor adalah yang buruk, maka harus dibuang," kata Johanes Tuba Helan.

Baca juga: Mantan jaksa KPK diminta jelaskan soal putusan korupsi di MK

Dia mengatakan, bayangkan seorang mantan napi koruptor boleh menjadi calon, jika terpilih maka kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian adalah mantan napi koruptor.

"Bagaimana dia bisa membina pegawai negeri sipil sebagai bawahannya, kalau kepala daerahnya adalah mantan narapidana koruptor," katanya dalam nada tanya.

Karena itu, putusan MK sebagai putusan yang tidak memberikan rasa keadilan, katanya.
 

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019