Jakarta (ANTARA) -  
Penembakan massal tampaknya masih meneror sejumlah negara di sepanjang 2019, baik di negara yang memang melegalkan kepemilikan senjata api maupun di negara yang tidak, bahkan hingga di negara yang dikenal sebagai tempat yang damai dan tenteram sekalipun.

Tak sedikit nyawa yang melayang sia-sia akibat perbuatan keji para pelaku penembakan massal. Entah apa yang merasuki benak para pelaku hingga mereka mampu mengeksekusi rencana sadis yang berujung pada kesedihan mendalam atas kepergian orang-orang tersayang.

Gun Violence Archive (GVA) merupakan suatu kelompok yang melacak penembakan massal di Amerika Serikat. Berdasarkan data yang dihimpun GVA, sepanjang tahun 2019 jumlah penembakan massal yang terjadi di seluruh penjuru Amerika Serikat mencapai 385 kasus, serta menyebabkan 35.942 orang tewas dan mengakibatkan 27.059 korban luka.

GVA mendefinisikan penembakan massal sebagai insiden, di mana sedikitnya empat orang ditembak, tidak termasuk penembak. Sementara itu, Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat mengartikan penembakan massal sebagai peristiwa di mana pelaku penembakan menewaskan empat orang atau lebih dengan cara membabi buta.

Berdasarkan catatan ANTARA berikut aksi brutal penembakan massal yang terjadi di beberapa negara di dunia sepanjang tahun 2019.

Christchurch, Selandia Baru
Salah satu penembakan massal sadis yang terjadi pada 2019 yang mengundang banyak kecaman dari berbagai pihak adalah penembakan di Christchurch, Selandia Baru.

Brenton Tarrant. Pria yang berasal dari Australia menjadi pelaku penembakan massal di Selandia Baru itu. Tanpa ragu, ia menerobos masuk ke dalam masjid dan memberondong peluru para jemaah yang hendak menjalankan ibadah sholat Jumat.

Insiden terjadi di masjid Linwood Avenue dan masjid Al-Noor di Deans Avenue, yakni dua masjid yang terletak di kota Christchurch, Selandia Baru.

Aksi keji yang berlangsung pada Jumat 15 Maret pukul 13:40 waktu setempat itu disiarkan secara langsung melalui media sosial Facebook oleh si pelaku.

Akibat aksi brutalnya, sebanyak 51 orang tewas serta puluhan orang lainnya mengalami luka, baik luka ringan maupun luka serius. 

Belum diketahui pasti motif di balik serangan membabi buta oleh tersangka supremasi kulit putih itu. Pelaku membeli empat senjata dan amunisi pada Desember 2017 hingga Maret 2018 di toko Gun City.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan negaranya akan melarang senjata dan senapan serbu semi otomatis tipe militer berdasarkan undang-undang yang ketat mengenai senjata. Larangan tersebut merupakan tindak lanjut pemerintah Selandia Baru untuk mencegah aksi keji serupa terjadi lagi.

Penembakan yang terjadi dalam hitungan menit itu menjadi yang paling mengerikan dalam sejarah Selandia Baru, negara yang dikenal begitu damai dan menjunjung tinggi perbedaan agama. Awan duka tak hanya menyelimuti Selandia Baru, sejumlah pemimpin negara maupun tokoh agama turut mengutuk aksi keji tersebut.

Akibat aksinya, pelaku menghadapi 51 dakwaan pembunuhan dan 40 dakwaan percobaan pembunuhan. Ia mengaku tak bersalah atas 90 lebih dakwaan, yang meliputi pasal pembunuhan dan terorisme.

Tarrant awalnya akan menjalani sidang pada 4 Mei 2020, namun hakim Pengadilan Tinggi setempat, Cameron Mander keberatan lantaran bertepatan dengan bulan Suci Ramadan yang jatuh pada Mei 2020. Dengan demikian sidang akan digelar pada 2 Juni 2020.

Virginia Beach
Penembakan massal lainnya pada 2019 terjadi di Virginia, Amerika Serikat. Seorang insinyur kota yang merasa tidak puas menembaki rekan kerjanya sendiri di gedung pemerintah di Virginia pada Jumat sore 31 Mei. Akibatnya, sebanyak 12 orang tewas dan empat orang lainnya cedera.

Si pelaku, DeWayne Craddock, tewas dalam baku tembak sengit dengan aparat Kepolisian.

Penembakan massal di tempat wisata pantai Virginia Beach tersebut merupakan salah satu peristiwa yang paling mematikan, yang melibatkan penggunaan senjata api di AS sejak November 2018.

Pelaku dibekali dengan senjata pistol caliber 45 yang dilengkapi dengan alat peredam suara dan cadangan amunisi.

Menurut Kepala Kepolisian Pantai Virginia James Cervera, Craddock sudah bekerja di departemen utilitas publik kota selama sekitar 15 tahun. Pelaku menggunakan kartu pass karyawan untuk memasuki daerah-daerah yang aman sebelum melakukan aksinya.

Virginia Beach merupakan kota di pantai timur Amerika Serikat, yang berjarak sekitar 320 kilometer sebelah tenggara Washington.

El Paso, Texas
Wilayah lain di Amerika Serikat yang mengalami peristiwa penembakan massal pada 2019 adalah El Paso, Texas. 

Kota yang berada di barat negara bagian Texas itu seketika menjadi "tenar" ketika seorang pria bersenjatakan senapan AK-47 bertingkah layaknya seorang koboi di satu toserba Walmart di El Paso, Texas, pada Sabtu 3 Agustus lalu.

Akibat ulah pria bersenjata itu, 22 nyawa melayang dengan sia-sia dan puluhan orang lainnya yang berada di toko itu pun turut menderita luka.

"Koboi" itu diidentifikasi bernama Patrick Crusius. Pria kulit putih berusia 21 tahun itu berasal dari Allen, Texas, sebuah kota di daerah Dallas sekitar 1.046 kilometer di timur El Paso.

El Paso terletak di perbatasan Meksiko, sebelah utara dari Rio Grande. Kota itu berada di urutan ke-19 sebagai kota terpadat di Amerika Serikat sekaligus kota terpadat keenam di negara bagian Texas.

Insiden El Paso merupakan penembakan massal terburuk kedelapan dalam sejarah AS modern, setelah penembakan massal pada 1984 di San Ysidro yang menewaskan 21 orang.

Tersangka menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah saat hadir pada persidangan pertama. September lalu, Crusius didakwa atas pembunuhan dan jika terbukti bersalah, ia akan dijatuhi hukuman mati, menurut Jaksa Wilayah El Paso County, Jaime Esparza.

Menurut catatan kepolisian El Paso, saat menyerahkan diri, Crusius memberi pengakuan dan mengatakan kepada polisi bahwa ia mengincar orang-orang Meksiko. Pernyataan itu diperkuat dengan kenyataan bahwa sebagian besar korban tewas adalah orang-orang Latin.

Crusius pun menyebut aksinya sebagai "reaksi terhadap invasi Hispanik di Texas".

Baca juga: Pelaku penembakan Texas sebut aksinya reaksi terhadap invasi Hispanik

Baca juga: Biden: 'Lidah beracun' Trump picu penembakan massal di AS

El Paso dan Ciudad Juarez, bersama dengan kota tetangganya, Las Cruces, New Mexico, membentuk wilayah perbatasan metropolitan dengan populasi sekitar 2,5 juta orang yang merupakan salah satu kawasan bilingual terbesar di wilayah barat.

Dayton, Ohio
Berselang 13 jam dari penembakan massal yang terjadi di El Paso, peristiwa mengerikan serupa kembali melanda wilayah AS. Kali ini di kota Dayton, Ohio.

Seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di distrik pusat kota pada Minggu pagi, 4 Agustus 2019. Dalam insiden itu sembilan orang tewas seketika dan sedikitnya 26 orang lainnya terluka.

Peristiwa itu terjadi pukul 01.00 waktu setempat di distrik Oregon Dayton, sebuah lingkungan bersejarah di pusat kota yang populer dengan klub malam, galeri seni restoran dan juga sederetan toko.

Tidak diketahui apa yang menjadi motif aksi tersebut, namun penyelidik yakin bahwa tersangka merupakan pelaku tunggal.

Pelaku mengenakan pelindung tubuh dan dipersenjatai dengan senapan berkapasitas tinggi dengan sejumlah peluru.

Peristiwa di Dayton, sebuah kota di tepi sungai berpenduduk sekitar 140.000 jiwa di barat daya Ohio, menjadi penembakan massal kedua yang mematikan di Amerika Serikat dalam waktu kurang dari sehari.

Baca juga: Polisi temukan zat narkoba dalam tubuh pembantai di Dayton-AS

Pejabat kantor penyelidik jenazah di wilayah Montgomery, Dr. Kent Harshbarger menyebutkan bahwa hasil autopsi menunjukkan tubuh si pelaku, Connor Betts, mengandung zat obat-obatan terlarang dan obat-obatan untuk terapi.

Belum diketahui berapa banyak dosis narkoba yang dikonsumsi oleh pria berusia 24 tahun tersebut saat melancarkan aksi kejinya.

Fresno, California
Selanjutnya, aksi penembakan massal lainnya di AS terjadi di Fresno, California.

Penembakan pada Minggu malam mengguncang sebuah lingkungan perumahan bagi kebanyakan keluarga Latin dan Asia Tenggara, ketika pria bersenjata mulai melepaskan tembakan saat menyelinap ke halaman belakang di salah satu rumah di Fresno, California.

Keluarga serta kerabat yang tengah asyik nonton bareng pertandingan sepak bola setelah pukul 06.00 sore waktu setempat, tiba-tiba saja dikejutkan oleh aksi biadab tersebut.

Tersangka kabur dari lokasi kejadian 17 November itu, di mana sekitar 30 orang sedang berkumpul.

Menurut polisi setempat, kejadian itu bukanlah tindakan acak melainkan aksi yang memang menargetkan kediaman tersebut. Berdasarkan keterangan orang-orang yang berada di rumah itu, mereka tidak dapat mengidentifikasi para penyerang lantaran kondisi yang gelap dan hanya menggambarkan kilatan cahaya ketika senjata ditembakkan.

Saat konferensi pers, polisi tidak menyebutkan jumlah korban tewas. Namun pihaknya mengatakan beberapa dari sembilan orang yang ditembak tewas di kota itu, yang terletak di sekitar 322 kilometer utara Los Angeles.

Beberapa ulasan mengenai peristiwa penembakan massal yang dilakukan para pelaku sadis dengan berbagai motif itu menunjukkan bahwa sudah waktunya bagi pemerintah negara-negara di dunia, terutama Amerika Serikat, untuk membuat kebijakan dan peraturan yang dapat membatasi dengan ketat peredaran, kepemilikan, dan penggunaan senjata api.

Baca juga: Washington berupaya larang penjualan senjata serbu kapasitas tinggi

Baca juga: Trump salahkan gangguan jiwa sebagai penyebab penembakan massal

Baca juga: Lady Gaga salurkan donasi ke tiga kota tempat penembakan massal

Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2019