Jakarta (ANTARA) - Kemelut polemik tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Uighur tak kunjung terhentikan karena di antara yang memberitakan dengan yang diberitakan hadir kesenjangan kepentingan yang bukan hanya saling beda, namun bahkan saling bertolak belakang.

Yang memberitakan menuduh sementara yang diberitakan tidak ingin dituduh.

Pelanggaran HAM

Dewan HAM PBB didukung pers barat menuduh pemerintah Republik Rakyat China (RRC) melakukan pelanggaran HAM secara sistematis, terstruktur, masif terhadap kaum Muslim di Uighur dengan mendirikan kamp konsentrasi untuk mencuci otak Muslimin di Uighur.

Pemerintah RRC didukung pers pendukung apalagi milik RRC keras membantah tuduhan Dewan HAM PBB dan pers Barat dengan menegaskan bahwa sama sekali tidak ada pelanggaran HAM terhadap siapa pun di Uighur dan sama sekali tidak ada kamp konsentrasi di Uighur.

Yang ada cuma kamp reedukasi bagi umat Islam di Uighur tanpa penjelasan kenapa yang direedukasi terbatas hanya Muslimin saja. Bahkan ada yang tega menuduh pemerintah RRC membeli dukungan negara-negara tertentu dengan utang dan inventasi yang tentu saja mentah-mentah dibantah oleh pemerintah RRC.

Atau minimal pemerintah RRC akan menghentikan investasi di negara yang tidak berpihak ke RRC dalam kasus Uighur.

Right or wrong, my country

PBB didukung pers barat menuduh pemerintah Myanmar melakukan pelanggaran HAM bahkan angkara murka genosida terhadap kaum Rohingnya di Myanmar.

Sementara Gambawa mewakili negara-negara Islam membawa genosida Rohingnya ke meja hijau Mahkamah Internasional.

Namun tidak kurang dari penerima anugerah Nobel, Aung San Suu Kyi gigih membela pemerintah Myanmar yang kini de facto dipimpinnya bersama junta Militer.

Suu Kyi tegas membantah genosida Muslimin dilakukan di Myanmar bahkan menuduh balik bahwa kekerasan terhadap kaum Rohingnya merupakan reaksi balas dendam atas kekerasan yang dilakukan kaum Rohingnya terhadap aparat keamanan.

Sikap Suu Kyi dikritik keras oleh masyarakat dunia, termasuk para sesama penerima anugerah Nobel. Bahkan ada yang menuntut agar Nobel menarik kembali penghargaan bagi Suu Kyi.

Namun, di sisi lain sikap Suu Kyi dipuja-puji sebagai nasionalisme adil dan beradab oleh pemerintah terutama militer Myanmar.

Pada saat penyelenggaraan Mahkamah Internasional di Den Haag, kedatangan Suu Kyi disambut sorak sorai sekelompok perempuan Myamar pendukung fanatik sambil membawa spanduk dan yel-yel setia harga mati kepada pujaan mereka berpedoman slogan "Right or Wrong, My Country!"

Pengakuan

Sampai masa kini, pemerintah Turki masih belum sudi mengakui genosida terhadap kaum Armenia sama halnya pemerintah Amerika Serikat masih belum sudi mengakui genosida terhadap rakyat Filipina di bumi Filipina apalagi terhadap penduduk pribumi Amerika Serikat di bumi Amerika Serikat sendiri.

Pemerintah kerajaan Belanda juga masih belum sudi mengakui angkara murka Westerling sebagai genosida terhadap rakyat Sulawesi. Pada suatu forum persahabatan ekonomi RRC-RI di Jakarta, saya sempat melontarkan pertanyaan tentang Uighur. Wakil kedutaan RRC di Jakarta secara sopan namun tegas menjawab pertanyaan saya dengan saran agar saya jangan gegabah mudah disesatkan berita hoaks rekayasa pers Barat!

Sejarawan India tidak pernah mengakui berapa banyak budak yang dipaksa melakukan kerja-paksa membangun Taj Mahal yang dikononkan sebagai monumen kasih-sayang padahal sang pembangunnya, Shah Jahan, tak segan memenjarakan ibunya bahkan membunuh saudara dan sanak-keluarga demi merebut tahta.

Mongolia memuja Jengis-Khan sebagai pahlawan perang tak terkalahkan sambil tidak pernah mengakui berapa banyak nyawa manusiayang  jatuh sebagai korban angkara murka kebengisan sang mahapanglima Mongolia.

Kekaisaran Jepang tidak pernah mengakui keangkara-murkaan para serdadu Jepang yang memerkosa serta membinasakan warga negara-negara Asia yang mereka kuasai pada Perang Jepang-China dan Perang Dunia II.

Memang wajar bahwa para pelaku kejahatan tidak mudah untuk mengakui kejahatan yang mereka lakukan.

Sejarah peradaban dunia membuktikan bahwa bangsa yang mengakui kejahatan yang mereka lakukan pada lazimnya hanya yang kalah perang seperti Jerman dan Jepang. Maka dapat dimahfumi bahwa juga tidak mudah bagi pemerintah RRC untuk mengakui telah melakukan pelanggaran HAM terhadap umat Islam di Uighur.

Lebih mudah bagi pemerintah RRC untuk balik menuduh para penuduh sebagai para pelanggar kedaulatan negara, bangsa, dan rakyat RRC .

Tabayun

Polemik Uighur tak kunjung selesai selama pihak penuduh tidak bisa tabayun menyimak fakta yang terjadi di Uighur.

Polemik Uighur juga tak kunjung terselesaikan selama pihak tertuduh tidak berkenan legowo memberikan kesempatan bagi pihak penuduh untuk secara independen, tanpa kendali pengawasan pemerintah tertuduh, datang langsung ke Uighur agar dengan mata telinga kepala sendiri dapat secara tabayun organoleptik, langsung on the spot mendengar serta melihat apa yang sebenarnya benar-benar sedang terjadi di Uighur.

*) Jaya Suprana adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan yang mendambakan perdamaian di planet bumi.


 

Copyright © ANTARA 2019