Bahkan dalam kasus tindak pidana korupsi, negara dapat juga menjadi korban langsung dari pelaku tindak pidana korupsi tersebut dengan timbulnya kerugian keuangan atau perekonomian negara
Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK memaparkan landasan hukum untuk dapat melakukan peninjauan kembali (PK) dalam perkara dugaan korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung.

PK dalam kasus Syafruddin tetap diajukan meski pasal 263 Ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa "terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".

"Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimaksudkan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan, baik kepentingan terpidana maupun kepentingan korban tindak pidana yang diwakili negara," kata JPU KPK Haerudin di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis.

Baca juga: KPK ajukan peninjauan kembali dalam perkara Syafruddin Temenggung

Sidang dipimpin ketua majelis Rosmina, Saifudin Zuhri dan Jult Mandapot Lumban Gaol dan dihadiri penasihat hukum Syafruddin, tapi tidak dihadiri Syafruddin.

Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya memutuskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak melakukan tindak pidana pada 9 Juli 2019 sehingga harus dikeluarkan dari rumah tahanan KPK.

Padahal putusan majelis Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar.

"Bahkan dalam kasus tindak pidana korupsi, negara dapat juga menjadi korban langsung dari pelaku tindak pidana korupsi tersebut dengan timbulnya kerugian keuangan atau perekonomian negara," tambah jaksa Haerudin.

Baca juga: KPK berupaya kembalikan kerugian negara BLBI Rp4,58 triliun

Lebih lanjut, menurut JPU KPK, pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:
a. Bila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berpa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhdap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Bila dalam perlbagai putusan terdapat pernyataan bahwa seseuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Bila putusan itu dengan jelas memerlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

"Yurisprudensi putusan hakim yang mengabulkan permohonan PK dari Jaksa di antaranya adalah: Muchtar Pakpahan, Pollycarpus Budihari Priyanto dan Djoko S Chandra," ungkap jaksa Haerudin.

JPU KPK mengajukan tiga alasan dalam permohonan PK tersebut. Alasan pertama, anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara.

Menurut JPU KPK, salah satu anggota majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara kasasi adalah Syamsul Rakan Chaniago.

"Sebelum perkara diputus di tingkat kasasi berdasarkan Call Data Records (CDR) terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani selaku penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung yaitu pada 13 Juni 2019 pukul 12.43 WIB, 28 Juni 2019 pukul 16.55 WIB," tutur JPU KPK Kiki Ahmad Yani.

Baca juga: KPK perdalam pertimbangan hukum terkait PK Syafruddin Temenggung

Selang satu jam setelah komunikasi terakhir pada 28 Juni 2019 pukul 17.51 WIB, Syamsul Rakan bertemu dengan Ahmad Yani di Cafe Segafredo Plaza Indonesia Jakarta yang terekam dalam CCTV.

Pertemuan antara Syamsul Rakan dan Ahmad Yani dilakukan sekitar 2 minggu sebelum perkara kasasi Syafruddin diputus dengan menyatakan perbuatan terdakwa Syafruddin terbukti sebagaimana dakwaan tapi bukan merupakan suatu tindak pidana serta melepaskan terdakwa Syafruddin dari segala tuntutan hukum.

Badan Pengawas MA pun telah memeriksa Syamsul Rakan dan putusan Bawas mengatakan perbuatan hakim Syamsul Rakan Chaniago telah melanggar prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Alasan kedua adalah terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.

Pada amar putusannya, majelis hakim menyatakan perbuatan Syafruddin terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana yang bertentangan dengan pertimbangan putusan dimana majelis hakim justru menguraikan fakta-fakta yang pada pokoknya Syafruddin tidak melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan.

Pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan majelis hakim hanya mengambil dalil-dalil yang diuraikan terdakwa melalui kuasa hukum sedangkan fakta-fakta yang dikemukakan penuntut umum yang diuraikan surat tuntutan dan sudah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan Tipikor PN Jakpus dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI justru dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan majelis hakim.

Alasan ketiga adalah agggota majelis hakim melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA'

Rapat pleno kamar MA menurut JPU KPK memutuskan hakim Salman Luthan berpedapat dakwaan terbukti dan perbuatan terdakwa adalah tindak pidana, hakim Syamsul Rakan Chaniago berpendapat dakwaan terbukti tapi perbuatan Syafruddin adalah perbuatan perdata, hakim Mohamad Askin berpendapat dakwaan terbukti tapi perbuatan Syafruddin adalah perbuatan administrasi.

Baca juga: KPK buka kemungkinan ajukan PK dalam perkara BLBI

"Masing-masing hakim memiliki pendapatnya sendiri dan berbeda satu sama lain. Ketika putusan tidak ada suara mayoritas dari majelis hakim, mengacu pada jenis putusan yang dijelaskan mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, perbedaan putusan dalam perkara kasasi Syafruddin tidak termasuk ke dalam salah satu jenis perbedaan putusan yaitu unanimous (putusan berdasarkan suara bulat), concurring opinion (hakim mengikuti pendapat hakim mayoritas), dissenting opinion (hakim berbeda pendapat dengan hakim mayoritas), tetapi perkara tersebut tetap diputus," ungkap Jaksa Ferdian.

Berdasarkan alasan tersebut, JPU KPK berpendapat bahwa dalam putusan kasasi terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sehingga putusan perlu dikoreksi dan diperbaiki.

Terhadap permohonan tersebut, penasihat hukum Syafruddin menyatakan Jaksa KPK tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan PK.

"Karena tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif PK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa pihak yang mempunyai hak mengajukan PK hanyalah terpidana atau ahli warisnya dan putusan yang dapat diajukan PK hanya putusan pemidanaan sedangkan putusan menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan tidak bisa diajukan PK," kata Hasbullah selaku pengacara Syafruddin.

Sedangkan objek dari pengajuan PK menurut Hasubllah juga tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, sedangkan dalam putusan kasasi, Syafruddin dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

Baca juga: MA: Hakim yang lepaskan terdakwa BLBI terbukti langgar etik

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020