Jakarta (ANTARA) -
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus berada dalam tren penguatan, jangan dibiarkan terapresiasi terlalu cepat dan berlebihan karena akan membuat komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional menjadi lebih mahal, kata ekonom lembaga kajian Indef.

Hal itu juga seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan, Kamis (16/1) kemarin.

Peneliti lembaga kajian Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira di Jakarta, Jumat, mengatakan penguatan Rupiah yang terlalu cepat dan berlebihan bisa membuat pelaku usaha tidak nyaman karena harus melakukan penyesuaian belanja di perencanaan bisnis 2020.

Di satu sisi, Bhima mengatakan, penguatan Rupiah yang terlalu cepat perlu diperhatikan apakah masih sesuai fundamental ekonomi domestik.

"Karena jika tidak, akan mudah melemah kembali," ujarnya.

Bhima mengatakan di 2020, ketidakpastian ekonomi global masih tinggi. Pemerintah dan BI perlu menjaga agar pergerakkan nilai tukar mata uang selalu berada dalam koridor fundamental perekonomian domestik.

Dikonfirmasi mengenai penguatan kurs rupiah, pada Kamis (16/1) Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan tren penguatan rupiah yang terus terjadi di awal tahun masih sesuai dengan fundamental perekonomian domestik, dan bergerak sejalan mekanisme pasar.

Penguatan Rupiah yang terus terjadi  karena perbaikan sejumlah indikator ekonomi domestik, seperti sentimen menjelang pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2019 yang diyakini akan lebih baik dibanding kuartal III 2019 yang sebesar 5,02 persen.

Selain itu, rupiah menguat juga penurunan drastis defisit neraca perdagangan menjadi 3,2 miliar dolar AS pada 2019 dibanding 8 miliar dolar AS pada 2018.

"Inflasi 2019 juga terkendali. Banyak faktor tersebut yang membuat rupiah menguat dan masih sesuai fundamental," ujar dia.

Dody menjelaskan penguatan rupiah memang memberikan dua sisi dampak bagi perekonomian.

Dalam jangka pendek, penguatan rupiah akan meningkatkan kegiatan investasi dan konsumsi karena struktur biaya akan lebih murah. Dalam hal ini, penguatan rupiah akan mempermurah biaya impor.

Selain itu, dalam jangka pendek, penguatan rupiah juga akan berimbas positif pada aliran keuangan di tubuh korporasi yang memiliki utang valas. Korporasi tidak akan menderita kerugian kurs dari eksposur utang valas.

Namun, dalam jangka menengah-panjang, penguatan rupiah memang akan mengecilkan nilai ekspor. Karena harga komoditas ekspor setelah dikonversi ke rupiah, akan mengalami penurunan.

Dody menegaskan BI akan terus mengawal kurs rupiah bergerak sesuai fundamentalnya.


 

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020