Jakarta (ANTARA) - Komite Ahli Eliminasi Kusta dan Frambusia dr Sri Linuwih Menaidi mengatakan risiko penularan penyakit kusta atau infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae di lingkungan keluarga sebetulnya cukup kecil atau hanya sekitar lima persen.

"Saya umpamakan suami-istri. Jika salah satu di antaranya sakit, maka risiko pasangannya akan menderita sakit cuma sekitar lima persen," kata dia di Jakarta, Kamis.

Risiko tersebut cukup kecil sebab daya tahan tubuh orang dewasa sudah baik. Hal itu berbeda jika terkait penularan dari orang tua ke anak.

Ia menjelaskan untuk penularan kusta dari ayah atau ibu ke anaknya berisiko lebih dari 50 persen atau dirata-ratakan sekitar 47 hingga 60 persen. Angka ini lebih besar sebab daya tahan tubuh anak belum begitu bagus.

"Tapi besarnya risiko hanya dengan catatan penyakit kusta tersebut belum diobati," ujar dia.

Namun, jika orang tua anak tersebut sudah mengobati penyakit kusta atau setidaknya dalam masa pengobatan, maka daya tularnya menjadi rendah sekali.

Apalagi, pemberian obat pada penderita kusta di bulan yang sama saat penyakit itu muncul akan mematikan lebih dari 90 persen bakteri penyebab penyakit tersebut.

Sehingga, kondisi kusta tersebut akan dinyatakan tidak menular lagi dari si penderita kepada orang-orang di sekitarnya.

Di sisi lain, kata dia, yang menjadi kesulitan ialah sulit untuk mengetahui persis saat kusta tersebut muncul sebab biasanya baru diketahui setelah bertahun-tahun terinfeksi.

Secara umum, bakteri penyebab kusta tidak diketahui atau kelihatan saat pertama kali masuk pada si penderitaan melainkan muncul ke kulit setelah sekitar dua hingga lima tahun, bahkan lebih.

"Jadi masa inkubasinya itu lama. Bisa saja sebenarnya terkena kusta saat masih anak-anak dan melewati masa inkubasi saat itu, tapi ketahuannya baru muncul saat dewasa sekitar usia 15, 20 hingga 30 tahun paling tinggi," ujarnya.

Terkait penularan kusta, kemungkinan terbesar selama ini ialah melalui udara. Si penderita menularkan bakteri penyebab kusta dari cairan yang keluar dari mulut atau hidung.

Sementara untuk penularan melalui sentuhan, menurutnya teori itu sulit untuk dibuktikan namun mungkin terjadi jika bersentuhan antara bakteri pada luka penyakit kusta dengan seseorang yang juga kulitnya dalam kondisi tidak utuh.

"Tapi itu sulit. Kalau bersentuhan dengan kita yang kulitnya dalam kondisi tidak masalah, maka tidak akan tertular begitu saja," kata dia.
Baca juga: Kemenkes: stigma kusta picu penularan
Baca juga: Kemenkes: Delapan provinsi belum eliminasi kusta
Baca juga: Jawa Timur masih punya 2.610 penderita kusta

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020