Bentuk otorita revitalisasi perkebunan dan industri komoditas strategis. Diatur nanti SOP di perkebunan kelapa sawit (PKS). PKS harus dilatih, proses pengolahannya harus dicuci dulu supaya penyebab terjadinya MCPD bisa diminimalisasi di sana
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan pemerintah perlu membentuk lembaga khusus untuk menangani pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, terkait dengan rencana Uni Eropa yang akan menerapkan batas 2,5 ppm terhadap kontaminan 3-monochlorpropanediol (3-MCPD) yang ditemukan dalam minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan pada Januari 2021.

"Bentuk otorita revitalisasi perkebunan dan industri komoditas strategis. Diatur nanti SOP di perkebunan kelapa sawit (PKS). PKS harus dilatih, proses pengolahannya harus dicuci dulu supaya penyebab terjadinya MCPD bisa diminimalisasi di sana," kata Sahat pada Forum Dewan Negara-Negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) yang digelar di Jakarta, Jumat.

Sahat menilai bahwa penanganan soal industri pengolahan sawit untuk menghasilkan produk pangan yang aman, harus dilakukan melalui pembentukan lembaga khusus, bukan di bawah Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, maupun Kementerian Perdagangan.

Lembaga khusus tersebut nantinya akan membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pengelolaan TBS di tingkat perkebunan, sampai di pabrik pengolahan.

"Mitigasi ini sebetulnya sedini mungkin bisa diatasi di kebun. Sampai sekarang di perkebunan tidak ada yang ngurus, sampai di 'mill' juga tidak ada, di Kemenperin tidak ada, Kementerian Pertanian juga tidak," kata dia.

Ada pun isu soal standar batas aman kontaminan monochlorpropanediol (3-MCPD) dan glycidol esters (GE) muncul setelah penelitian di Uni Eropa mencatat minyak sawit mengandung 3-MCPD dan GE yang tertinggi di antara minyak nabati lainnya.

Senyawa 3-MCPD merupakan senyawa hasil hidrolisis 3-MCPD ester yang dinilai memiliki efek negatif terhadap kesehatan.

Penerapan standar ini pun dinilai diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit karena UE hanya menerapkan batas 1,25 pm pada minyak nabati lain, khususnya yang diproduksi di UE seperti minyak canola, sunflower, rapeseed, hingga kedelai.

Namun demikian, Sahat membantah terkait efek berbahaya dari 3-MCPD dan GE yang ada pada minyak sawit. Oleh karena itu, ia mengusulkan Indonesia juga mengadakan penelitian tersendiri, terutama mengingat minyak sawit telah dikonsumsi sebesar 6 juta ton per tahun di dalam negeri.

"Penelitian itu baru coba di tikus. Saya mau argumentasi, ini kan tergantung imunitas seseorang. Perlu dibuktikan aplikasinya di mana. Makanya kita mengusulkan, ada penelitian," kata Sahat.

Baca juga: Selain pajak, Rusia juga berencana perketat standar CPO Indonesia

Baca juga: Luhut kenalkan inisiatif dukung sawit berkelanjutan di Indonesia

Baca juga: Investasi sawit Korindo terhambat kampanye negatif LSM

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020