Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik membantah pernah berkomunikasi dengan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku sebagai calon anggota DPR terpilih periode 2019-2024.

"Tidak ada, semua sudah saya sampaikan ke penyidik. Tidak ada komunikasi apa-apa, kami hanya balas surat saja," ucap Evi usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

KPK, Rabu memeriksa Evi sebagai saksi untuk tersangka Saeful (SAE) dalam penyidikan kasus suap PAW anggota DPR RI periode 2019-2024.

Adapun surat balasan dari KPU tersebut setelah sebelumnya PDIP mengirimkan surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang meninggal, yakni Nazarudin Kiemas.

Baca juga: Hasto: PDIP punya legalitas tetapkan Harun Masiku melalui PAW
Baca juga: Pakar: Imigrasi bisa libatkan praktisi dari luar
Baca juga: Tim Gabungan: Kepulangan Harun Masiku tak lalui jalur khusus


Lebih lanjut, Evi menyatakan pemeriksaannya hari ini untuk pendalaman setelah sebelumnya pernah diperiksa KPK, Jumat (24/1).

"Keterangan tambahan. Jadi, apa yang dimintakan ini lebih kepada pendalaman terkait perolehan suara dan dengan penetapan calon terpilih," ucap Evi.

Evi yang dicecar tujuh pertanyaan itu mengaku tidak ditanya soal aliran uang dalam kasus tersebut.

"Ya tidak lah kan semua yang ditanyakan sesuai tugas-tugas saya sebagai Divisi Teknis kemudian apa yang saya ketahui terkait proses rekapitulasi suara, penetapan calon terpilih," ujar dia.

KPK pada Kamis (9/1) telah mengumumkan empat tersangka dalam kasus tersebut.

Sebagai penerima, yakni Wahyu Setiawan dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR) yang saat ini masih menjadi buronan dan Saeful (SAE), swasta.

Dalam konstruksi perkara kasus itu, KPK menjelaskan bahwa pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan advokatnya Donny Tri Istiqomah mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.

Gugatan itu kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pergantian antarwaktu.

Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.

Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti almarhum Nazarudin Kiemas yang juga adik dari mendiang Taufik Kiemas.

Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.

Selanjutnya, Saeful menghubungi Agustiani dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai PAW.

Kemudian Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Wahyu menyanggupi untuk membantu dengan membalas "siap, mainkan!".

Wahyu pun meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta.

Baca juga: KPK kembali periksa Komisioner KPU Evi Novida
 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020