kalau UMKM dan koperasi tidak segera masuk ke ekonomi digital maka akan kalah bersaing
Jakarta (ANTARA) - Bagi Teten Masduki, menerima amanah sebagai Menteri Koperasi dan UKM sejatinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebagai sosok yang pernah bertahun-tahun bergelut sebagai pegiat sosial, isu-isu perubahan ekonomi rakyat adalah hal yang akrab.

Kini, setelah mengemban amanat sebagai Menteri Koperasi dan UKM, Teten pun punya kesempatan untuk menerapkan segudang idenya untuk memberdayakan dan mengembangkan koperasi dan UMKM di Tanah Air dalam perspektif yang baru.

Antara berkesempatan mewawancarai Teten Masduki saat berkunjung ke Kantor Berita Antara, di Jakarta, Jumat. Berikut petikan wawancara dengan Teten Masduki.

Bagaimana prospek koperasi dan UMKM di Indonesia?

Saya baru tahu setelah saya di Kementerian Koperasi dan UKM, ternyata 99 persen pelaku usaha di Indonesia ada di wilayah kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM yang kita tahu “share” kepada PDB sekitar 60 persen lebih, penyerapan tenaga kerja 97 persen. Artinya ekonomi nasional fondasinya, tulang punggungnya ada di koperasi dan UKM. Ini yang saya baru tahu dan memang ini satu potensi besar tapi memang masih banyak permasalahan. Permasalahan terhadap akses pasar, permasalahan pembiayaan, dalam pengembangan usaha juga yang lain-lain termasuk daya saing produk.

Apa saja strategi yang akan dilakukan untuk meningkatkan daya saing koperasi dan UMKM Indonesia?

Saya kira kita harus menjawab masalah mereka, pendekatannya "market driven" agar bagaimana permintaan terhadap produk UMKM meningkat sehingga pembiayaan meningkat. Oleh karena itu digitalisasi UMKM perlu supaya bisa dibawa ke "market online", kita siapkan juga "trading house" untuk masuk ke pasar global dan juga di dalam negeri.

Ini yang saya kira sekarang kita sedang lakukan upaya perbaikan daya saing produknya, sebab di dalam negeri pun kita harus bersaing dengan produk asing. Oleh sebab itu maka standar produk UMKM harus standar global, memang kita masih kecil ya masih 14,5 persen ekspornya sementara negara tetangga sudah lebih besar dari kita.

Banyak bencana termasuk wabah virus corona dan perlambatan ekonomi berpotensi mempengaruhi kinerja sektor koperasi dan UKM. Bagaimana menanggapi hal ini?

Memang ada yang terpukul, tapi saya kira sebagian besar kita justru menganggap ini “opportunity” bagi UMKM untuk mensubstitusi barang-barang dan produk yang impor, jadi sekarang menjadi tantangan bagi UMKM dan koperasi untuk melakukan “scaling up” volume produksinya, untuk mengisi kekosongan market domestik kita yang impornya terganggu. Ini perlu dukungan semua pihak untuk mengguyur pembiayaan ke UMKM.
 

Teten Masduki : UMKM penyangga ekonomi di tengah terjangan virus Corona



Jadi ini lebih ditekankan ke peluang?
Ini lebih ke “opportunity”.

Bagaimana perkembangan terkait lima program strategis di sektor KUKM?

Jadi selama ini yang urus UMKM ada 18 Kementerian/Lembaga, tidak ada “policy” yang sama antara satu kementerian dengan kementerian yang lain. Target prioritas kita adalah bagaimana mengkonsolidasi program di 18 kementerian dan daerah ini lewat pendekatan “one gate policy” jadi kami baru menyelesaikan kebijakan ini.

Yang kedua konsolidasi pembiayaan, karena terlalu berserakan, pembiayaan terlalu banyak pintunya tapi belum efektif dalam banyak hal. Untuk yang sektor mikro sekarang sudah efektif dengan program lewat Permodalan Nasional Madani (PNM), lewat program Mekaar, tapi masih ada masalah di kredit-kredit pengembangan usaha atau investasi.

Kami dengan OJK sedang mengembangkan berbagai model, skema pembiayaan agar bagaimana bisa mendapatkan modal investasi lewat pasar modal atau "crowdfunding".

Untuk di sektor mikro sekarang, karena program Mekaar masih sangat sedikit, baru 10 persen dari total pelaku usaha. Presiden Joko Widodo sudah menyetujui nanti sampai 2024 akan mendapatkan program Mekaar sampai 30 juta pelaku usaha sampai hampir separuhnya.

Tapi kita juga lihat di masyarakat, rentenir masih hidup, di satu pasar masih ada lebih dari 50 rentenir. Saya diminta Presiden untuk melakukan kajian yang efektif karena yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan yang murah tapi yang mudah.

Jadi Kredit Usaha Rakyat (KUR) itu meskipun murah tapi dalam pelaksanaannya harus pakai agunan untuk kredit mikro. Ini saya kira kalau pemerintah bisa menyediakan pembiayaan yang murah dan mudah ini saya kira akan menjadi stimulus untuk sektor mikro untuk mendapatkan modal kerja lebih baik.

Pembenahan seperti apa yang harus dilakukan untuk membuat koperasi dan UKM Indonesia semakin berkembang dan maju?

Memang tidak bisa seragam, ini ada tiga pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah. Mikro ini saya melihat ke ekonomi subsisten, kegiatan ekonomi usaha yang dilakukan oleh keluarga yang bisa menghidupkan ekonomi keluarga, menyekolahkan anak, yang ini kan sebenarnya hanya memerlukan modal kerja, barang dagangan yang bisa kompetitif dengan ritel modern.

Ini yang kecil dan menengah ini perlu kita “scaling up” lebih baik dengan strategi marketing, branding, lalu komersialisasinya lebih lanjut. Kita ingin struktur ekonomi ke depan, justru kue nasional lebih merata ke pelaku usaha menengah dan kecil.

Bagaimana mendorong koperasi dan UKM "go digital" dan modernisasi koperasi dalam menghadapi revolusi industri 4.0?

Digital ekonomi ini kan suatu keniscayaan anak muda, juga apalagi demografi kita ke depan memang ada di anak-anak muda yang sekarang sudah sangat digitalize, karena itu kalau UMKM dan koperasi tidak segera masuk ke ekonomi digital maka akan kalah bersaing.

Dan ini yang sedang kita dampingi sekarang bagaimana produk UMKM ini punya standarisasi branding bagus, packaging menarik sehingga bisa dipasarkan online yang pasarnya bisa di dalam negeri maupun di luar negeri atau global. Koperasi pun begitu, koperasi sekarang masih model lama sehingga kurang efektif, maka koperasu ini ke depan akan menjadi koperasi besar tidak terbatas kepada wilayah dimana koperasi itu berdiri. Ini yang akan menjadi prioritas kita.

Bagaimana mengubah citra koperasi dan UKM menjadi lebih baik dari sekadar anggapan pelaku ekonomi pinggiran?

Kalau kita lihat koperasi-koperasi di dunia justru besar-besar, misalnya di New Zealand ada Fontera, itu koperasi susu terbesar di dunia. Koperasi-koperasi agri di dunia itu besar-besar, kenapa di Indonesia tidak tumbuh, yang tumbuh hanya koperasi simpan pinjam, koperasi di sektor produksi tidak tumbuh.

Ini yang sekarang saya sedang pelajari, kita akan dorong bagaimana koperasi dan UKM itu masuk ke sektor komoditas, pangan, maritim, teknologi. Jadi masuk ke sektor-sektor yang kita masuk ke unggulan domestik, di situ sebenarnya kita bisa naik kelas.

Kalau hanya di usaha simpan pinjam, kerajinan, atau makanan-makanan kripik komoditas-komoditas yang suplainya terbatas, bahan baku terbatas itu enggak mungkin menghasilkan sesuatu yang besar. Jadi struktur ekonomi, bisa lebih lama berubah kalau kayak begitu.

Bagaimana mendorong tumbuhnya startup dan wirausaha baru?

Sekarang startup-startup baru yang melibatkan anak muda dengan pendidikan lebih baik, melek teknologi, dan punya visi bisnis ke depan untuk besar justru “the future” atau masa depan ekonomi masyarakat justru ada di mereka, sekarang ini tanpa intervensi pemerintah pun mereka tumbuh dengan bantuan inkubator swasta, dengan bantuan dana ventura. Ini sudah berkembang mulai dari sektor maritim, agriculture, sampai ke marketplacenya.

Tinggal dibangunkan ekosistemnya saja, pembiayaan pemerintah sudah banyak sekali. Kami sejarang justru karena yang harus diurus pemerintah terlalu banyak, pelaku usaha di sektor UMKM ini. Kami justru menggandeng inkubator swasta ini untuk ikut membina, mendampingi UMKM untuk ikut go global dengan strategi bisnis yang tepat.
Baca juga: Presiden didorong segera terapkan kebijakan satu pintu untuk UMKM
Baca juga: Teten gandeng aktivis brand lokal dongkrak citra UKM kuliner
Baca juga: Kementerian Koperasi dan UKM gagas rumah produksi bersama furnitur



 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020