Pada Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan mengatakan setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perjanjian fidusia, perusahaan pembiayaan tetap dapat melakukan eksekusi.

"Dengan adanya putusan MK, tidak menghapuskan kekuatan eksekutorial atas jaminan fidusia. Perusahaan pembiayaan dapat tetap melakukan eksekusi jaminan fidusia sepanjang ada kesepakatan antara debitur dan perusahaan atas adanya cedera janji sebagaimana tertuang dalam perjanjian pembiayaan dan adanya penyerahan sukarela dari debitur kepada perusahaan," ujar Bambang saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.

Pada Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Baca juga: Selain COVID-19, industri pembiayaan perlu waspadai perlambatan global


Setelah keluar keputusan MK mengenai perjanjian fidusia tersebut, di tengah masyarakat muncul multitafsir mengenai penarikan barang hasil pembiayaan. Ada yang mengartikan perusahaan pembiayaan selaku kreditur kini tidak memiliki kewenangan eksekusi tanpa putusan pengadilan.

Oleh karena itu, OJK meminta perusahaan pembiayaan untuk memperbaiki dari sisi perjanjian pinjaman dengan debitur

"Namanya perjanjian  harus diketahui dan dimengerti kedua belah pihak. Jangan sampai tidak transparan. Tapi faktanya masih banyak kejadian. Ini memang perlu edukasi yang panjang, kita perlu edukasi masyarakat," ujar Bambang.

Sementara itu, terkait masih banyaknya penarikan barang hasil pembiayaan oleh penagih utang (debt collector) dengan cara-cara yang tidak sepatutnya, OJK akan terus mendorong pelaksanaan sertifikasi untuk fungsi pegawai yang menjalankan fungsi penagihan.

Selain itu, OJK akan terus melakukan pengawasan dan monitoring atas implementasi ketentuan Pasal 48 POJK 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha PP, khususnya terkait dengan penggunaan pihak ketiga sebagai penagih eksternal (external collector).

Dalam hal perusahaan tetap menggunakan jasa penagih eksternal dalam proses penagihan, perusahaan wajib memiliki prosedur internal mengenai tata cara proses penagihan dan kode etik yang harus dipedomani penagih tersebut termasuk pedoman apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh penyedia jasa penagih eksternal tersebut.

Baca juga: Perusahaan pembiayaan lebih selektif setelah putusan MK
Selain itu, perusahaan juga harus melaksanakan prosedur penagihan yang dilakukan kepada debitur dan tidak langsung melakukan eksekusi penarikan kendaraan jaminan tanpa melewati serangkaian prosedur penagihan yang telah ditetapkan seperti pemberian surat peringatan dan lainnya.

Untuk menjaga aspek prudensial dan perlindungan konsumen, kerjasama yang dibuat antara perusahaan dengan penagih eksternal tersebut wajib dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.

Kemudian, perusahaan bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan penagih eksternal.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020