Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres saat berbicara di New York, Amerika Serikat, Kamis (19/3) mengingatkan negara-negara di dunia untuk lebih memperhatikan perlindungan terhadap masyarakat miskin, kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta komunitas rentan lain saat menanggulangi penyebaran jenis baru virus corona (COVID-19).

"Kita perlu untuk fokus memperhatikan masyarakat -- para pekerja berpenghasilan rendah, UMKM, mereka yang rentan (saat dilanda krisis, red). Artinya, pemerintah perlu menjamin mereka tetap mendapatkan penghasilan layak, asuransi, jaminan sosial, perlindungan dari risiko bangkrut dan kehilangan lapangan kerja," kata Guterres dalam tayangan yang disiarkan laman resmi PBB sebagaimana dipantau di Jakarta, Jumat.

Menurut Guterres, pemerintah negara-negara yang terdampak COVID-19 perlu membuat instrumen fiskal dan moneter yang tepat sehingga adanya pandemi tidak merugikan para kelompok masyarakat rentan tersebut.

"Upaya pemulihan tidak dapat dibebankan ke mereka yang miskin -- dan kita tidak boleh menciptakan masyarakat miskin baru akibat pandemi ini. Kita harus mengalokasikan bantuan secara tepat sasaran," ujar dia.

Tidak hanya masyarakat miskin dan UMKM, sekjen PBB juga menyoroti nasib anak-anak yang kegiatan belajarnya ikut terdampak pandemi.

"Anak-anak ikut membayar harga yang mahal akibat pandemi ini. Lebih dari 800 juta anak-anak terpaksa putus sekolah -- banyak dari mereka yang bergantung dari sekolah untuk mendapatkan nutrisi cukup. Kita harus memastikan seluruh anak-anak mendapatkan nutrisi yang cukup dan akses pembelajaran yang setara. Untuk itu, otoritas di masing-masing negara perlu menyelesaikan adanya ketimpangan pada konektivitas dan teknologi digital," tambah dia.

Sejalan dengan pendapat Guterres, Utusan Khusus PBB untuk Perumahan Layak (UN Special Rapporteur on adequate Housing) OHCHR (Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia), Leilani Farha, mengingatkan negara-negara anggota untuk memperhatikan keselamatan para tunawisma (homeless people) di tengah krisis kesehatan COVID-19.

"Saat ini tempat tinggal merupakan barisan pertahanan terdepan untuk mencegah penularan virus. Jarang sekali kepemilikan atas rumah jadi situasi yang menentukan hidup dan mati," kata Farha lewat pernyataan tertulisnya yang disiarkan di laman resmi OHCHR, Kamis (18/3).

Ia menerangkan dari data sejumlah penelitian sekitar 1,8 juta jiwa di seluruh dunia merupakan tunawisma, mereka yang hidup di rumah tak layak, tinggal di bangunan yang terlalu padat penghuni atau di rumah tanpa sarana air bersih dan sanitasi yang memadai. Kondisi seperti itu, menurut Farha, menjadikan kelompok masyarakat tersebut rentan atau lebih mudah tertular COVID-19.

"Berkaca dari situasi itu, saya mendorong negara-negara anggota untuk tidak melakukan pengusiran kepada para penyewa hunian, menunda penarikan biaya sewa bagi mereka yang tertular virus, memastikan seluruh masyarakat mampu menggunakan fasilitas sanitasi layak, dan menyediakan hunian darurat bagi para tunawisma," jelas dia.

Data Worldometers, lembaga penyedia jasa statistik independen, per hari ini (20/3), menunjukkan 255.194 orang positif tertular COVID-19 dan 10.449 di antaranya meninggal dunia, sementara 89.918 pasien dinyatakan sembuh.

Setidaknya, 183 negara dan wilayah terdampak jenis baru virus corona itu dengan kasus tertinggi masih ditemukan di China (80.967 pasien positif ditambah 39 kasus baru); disusul oleh Italia (41.035 pasien positif); Spanyol (19.980 pasien); Iran (19.664 pasien); Jerman (17.653 pasien); Amerika Serikat (14.373 pasien); Prancis (10.995 pasien); dan Korea Selatan (8.652 pasien).

Baca juga: WHO himpun sumbangan Rp685,4 M untuk Dana Solidaritas COVID-19
Baca juga: PBB dan Palang Merah buat panduan lindungi sekolah dari COVID-19
Baca juga: Sekjen PBB sarankan menteri, diplomat lewatkan pertemuan akibat corona

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020