Tanjungpinang (ANTARA) - Bupati Bintan Apri Sujadi memperingatkan PT Bintan Alumina Indonesia untuk tidak mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) secara ilegal.

"Kami minta PT BAI (Bintan Alumina Indonesia). Jangan buat masalah sehingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat," ujar Bupati Apri, di Bintan, Rabu.

Peringatan itu disampaikan Bupati Apri Sujadi setelah terungkap 39 orang TKA asal China akan bekerja secara ilegal di di Kawasan Ekonomi Khusus. TKA asal China yang masuk ke Bintan meresahkan masyarakat.

Berbagai kelompok masyarakat mengancam akan memblokade jalan masuk ke dalam proyek pembangunan smelter di Kawasan Ekonomi Khusus.

"Kami sudah berupaya menenangkan masyarakat. Tolong untuk tidak dibuat lagi karena masyarakat sekarang lagi risau, resah menghadapi COVID-19, jangan tambah masalah baru," katanya.

Baca juga: Pemkab Bintan pulangkan 39 TKA ilegal asal China

Baca juga: Puluhan TKA China masuk ke Kabupaten Bintan

Baca juga: Empat perusahaan di Bintan akan merumahkan karyawan


Apri mengatakan keputusan Pemkab Bintan mengusir 39 TKA ilegal berkebangsaan China sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seandainya, TKA itu bekerja di PT BAI sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Pemkab Bintan tidak akan melarang.

Perusahaan seharusnya mengantongi Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) untuk mempekerjakan 39 orang TKA tersebut. "Sampai sekarang tidak ada IMTA," ujarnya.

Ia menegaskan Pemkab Bintan memberi apresiasi terhadap PT BAI yang telah berinvestasi belasan triliun rupiah, namun bukan berarti aturan diabaikan, apalagi dalam kondisi masyarakat yang saat ini resah menghadapi COVID-19. Keresahan masyarakat, terutama yang baru di-PHK oleh perusahaan yang mengalami kerugian akibat pengaruh COVID-19, perlu diperhatikan.

Saat mereka berstatus sebagai pengangguran, PT BAI mempekerjakan TKA.

"Kami memahami kondisi psikologis masyarakat. Tentu kami berada di depan mereka agar tetap tenang," tuturnya.

Protokol kesehatan seharusnya juga dilakukan, bukan di Kamboja maupun di Thailand, melainkan juga di Indonesia. Mereka masuk melalui Jakarta, seharusnya dikarantina selama 14 hari di Jakarta.

"Ini baru hari ini diperiksa kesehatannya melalui  tes cepat (rapid test). Ini pun berdasarkan inisiatif kami," katanya.

Direktur PT BAI, Santoni, mengatakan, dirinya baru mengetahui 39 orang TKA berkebangsaan China itu setelah mereka berada di Batam. Dari Batam baru dibawa ke Bintan.

Menurut dia, para TKA itu bukan pekerja kasar, melainkan konsultan ahli. Mereka yang mengarahkan para pekerja untuk menggunakan peralatan.

"Kami membutuhkan mereka, karena pekerjaan kami terhambat. Kemungkinan target menyelesaikan smelter tahun ini, tidak terealisasi," katanya.

Ia meminta pertimbangan Pemkab Bintan agar para TKA itu tidak dipulangkan ke Jakarta. Di Jakarta, menurut dia kemungkinan akan menimbulkan permasalahan baru lantaran ruang gerak TKA itu terbatas karena kebijakan pemerintah setempat.

Kondisi ini justru menimbulkan permasalahan baru jika disiarkan di media nasional. "Saya berjanji, ini yang terakhir, saya tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya.

Santoni juga bersedia seluruh TKA itu mengikuti protokol kesehatan seperti dikarantina selama 14 hari. "Kami bersedia mereka dikarantina," katanya.

Sebelumnya, Pemerintah Bintan memutuskan mengusir sebanyak 39 tenaga kerja asing (TKA) asal China yang akan bekerja secara ilegal di PT Bintan Alumina Indonesia (BAI).

Keputusan itu setelah Pemkab Bintan yang diwakili oleh Kepala Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Galang Batang, Hasparizal Handra rapat dengan seluruh instansi terkait, termasuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Bintan dan Kepri, di kawasan PT BAI, Rabu.

Hasparizal menegaskan seluruh peserta rapat setuju agar TKA berkebangsaan China itu dibawa ke Jakarta, karena melanggar UU Ketenagakerjaan. Proses pemberangkatan mereka menjadi tanggung jawab PT BAI, namun harus berkoodinasi dengan Pemda dan aparat yang berwenang.

Mereka diberangkatkan ke Jakarta mulai besok, karena mereka ke Bintan melalui Bandara Soekarno-Hatta.*

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020