Jember (ANTARA News) - Sastra lisan dan folklor (tradisi) lisan dinilai efektif sebagai instrumen politik dan kehidupan sehari-hari di Indonesia.

"Sastra lisan dan folklor lisan punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari," kata pengamat budaya, Dr Ayu Sutarto dalam acara bedah bukunya yang berjudul Mulut Bersambut, sastra lisan dan folklor lisan sebagai instrumen politik pada era Soekarno dan Soeharto, Kamis, di aula Fakultas Sastra Universitas Jember.

Menurut dia, dua tokoh besar di Indonesia yakni Soekarno dan Soeharto menggunakan folklor lisan sebagai instrumen politik selama masa pemerintahannya.

"Soekarno dan Soeharto menjadi sumber penciptaan sastra lisan dan folklor lisan di Indonesia," kata Ayu.

Ia menjelaskan, dalam wilayah politik, bentuk sastra lisan sering digunakan melalui ungkapan tradisional, pantun, dongeng, slogan dan propaganda politik.

"Folklor lisan dapat memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat karena bangsa Indonesia masih dominan menggunakan sastra dan folklor lisan," katanya menerangkan.

Di era Soekarno, kata dia, folklor lisan yang disampaikannya menjadi penyemangat bangsa Indonesia untuk bangkit seperti rawe-rawe rantas, malang-malang putung (Berjuang mati-matian untuk kemenangan).

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan folklor lisan dalam menyampaikan slogan politik," katanya menambahkan.

Beberapa folklor lisan yang sering didengar dari Presiden SBY antara lain, bersama SBY bisa dan Lanjutkan.

"Sastra lisan dan folklor lisan dapat berdampak positif dan negatif sesuai dengan niat orang yang menyampaikannya," katanya.

Bedah buku sejumlah penulis dosen Sastra Universitas Jember merupakan rangkaian acara Pekan Chairil Anwar 2009 di Fakultas Sastra Unej.
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009