perempuan pekerja yang mengalami beban berlapis
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan negara perlu hadir untuk para pekerja perempuan yang mengalami beban berlapis di tengah merebaknya pandemi COVID-19.

"Ini menjadi PR kita bersama, bagaimana negara hadir untuk perempuan pekerja yang mengalami beban berlapis," kata dia dalam diskusi yang diadakan Trade Union Rights Centre (TURC) via konferensi video di Jakarta, Selasa.

Negara, kata dia, harus hadir dengan kesadaran akan perlunya kebijakan yang lebih mengayomi perspektif perempuan yang dalam situasi sulit ini banyak mengalami kesulitan ekonomi akibat kebijakan perumahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK), tapi juga menghadapi beban domestik.

Permasalahan domestik muncul ketika terjadi berkurang atau bahkan hilangnya pendapatan sementara, jika memiliki keluarga, pekerja atau buruh perempuan masih membantu keluarga terutama anak-anak yang menjalankan belajar dari rumah. Belajar dari rumah dengan kebijakan menggunakan internet tentu membutuhkan biaya tersendiri.

Baca juga: Komnas Perempuan: Perspektif perempuan kurang dalam kebijakan COVID-19

Baca juga: Kesetaraan gender harus direspons bersama, sebut Komnas Perempuan


Tidak hanya itu, terdapat potensi kekerasan dalam rumah tangga ketika pemerintah mewajibkan tetap tinggal di rumah. Komnas Perempuan sendiri melihat terjadi peningkatan pengaduan secara daring, meski mereka sendiri belum melakukan penyaringan jenis pengaduan apa saja yang muncul.

Kebijakan negara, terutama dalam penanganan wabah saat ini, bisa lebih sensitif gender karena terdapat beban ganda perempuan tersebut apalagi di tengah pandemi akan semakin besar.

Dia memberi contoh perempuan di sektor informal seperti pekerja rumah tangga atau industri rumahan ketika ada kebijakan pemerintah mengalami kesulitan akses untuk mendapatkannya.

Hal itu perlu menjadi perhatian karena sektor tersebut didominasi oleh perempuan, tegas dia.

Tidak hanya itu, secara khusus dalam permasalahan data terkait penanganan COVID-19 dia masih melihat belum terdapat perspektif gender.

"Karena me-list datanya masih secara umum. Biasanya yang dilihat hanya KK, KTP dan kepala keluarga. Kalau bicara kepala keluarga yang dilihat biasanya adalah kepala keluarga resminya," kata dia.

Padahal, terdapat kondisi di mana perempuan berperan sebagai kepala keluarga karena situasi atau kondisi tertentu. Tidak hanya itu, tegasnya, jika dalam pengumpulan data masih dilakukan secara umum maka kebutuhan perempuan tidak akan tercermin dalam hal itu.

Baca juga: Komnas Perempuan: perlu mandat khusus institusi perempuan
 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020