persoalan legalitas lahan merupakan tantangan bagi perkebunan sawit rakyat dalam beberapa tahun terakhir.
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) memberikan dukungan kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU Cipta Kerja dalam rangka mempaduserasikan regulasi pertanahan dan kehutanan.

Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung di Jakarta, Kamis, mengatakan, persoalan legalitas lahan merupakan tantangan bagi perkebunan sawit rakyat dalam beberapa tahun terakhir.

Masalah ini disebabkan empat tipe konflik tenurial perkebunan sawit rakyat dimasukkan ke dalam kawasan hutan, lahan petani berada dalam KHG Fungsi Lindung, lahan petani masuk Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, dan moratorium kelapa sawit.

Baca juga: Konsumsi minyak sawit dalam negeri tumbuh 7,2 persen kuartal I

Solusi atas persoalan tenurial yaitu membuat desk petani sawit di Kementerian ATR/BPN, sosialisasi kepada seluruh kantor BPN Provinsi/Kabupaten, yang mana Apkasindo berpartisipasi dalam pemetaan dan pengukuran lahan petani, pemberian sertifikat gratis untuk lahan pekebun sawit, dan proses balik nama kolektif.

Apabila persoalan tenurial tidak dijalankan, petani akan kesulitan mengikuti Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 yang mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat ISPO dalam lima tahun mendatang.

Sertifikat ISPO mempersyaratkan petani mempunyai surat hak milik (SHM) atas lahan perkebunan kelapa sawit, di lapangan, masih banyak petani yang baru memperoleh SKT/SKGR.

"Waktu lima tahun untuk pra kondisi ISPO sangat singkat bagi petani. Jangan sampai ada kesan dengan aturan yang ada para petani justru seperti hendak disingkirkan dari sektor industri kelapa sawit di Tanah Air," ujarnya dalam diskusi bertemakan “Omnibus Law dan Terobosan Kebijakan Pertanahan di Sektor Sawit, yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia.

Baca juga: Serikat Pekerja Nasional dukung kelancaran perizinan investasi

Gulat berharap Omnibus Law Cipta Kerja ini hendaknya bisa memangkas dan menyelaraskan berbagai aturan yang ada agar para petani dapat mengurus status legal lahan mereka dengan mudah, tidak berbeli-belit, serta tidak mengeluarkan biaya pengurusan yang tinggi.

Akademisi dari Universitas Prasetya Mulya Dr. Rio Christiawan mengakui Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya pada klaster pertanahan merupakan peluang bagi industri kelapa sawit yang merupakan penyumbang devisa terbesar RI.

Pelaku usaha mendapat kepastian hukum dalam bentuk sertifikasi, di sisi lain, banyak perkebunan sawit yang sudah beroperasi lama dan mengantongi HGU tetapi saat diperpanjang ternyata masuk kawasan hutan.

"Jadi konflik antarperaturan perundangan yang mengakibatkan tumpang tindih yang menghambat investasi dan pembangunan sejatinya bersumber pada konflik kewenangan," katanya.

Sebelumnya itu Wakil Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra menyatakan, pemerintah berupaya menyelesaikan tumpang tindih regulasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi investasi seperti kelapa sawit.

Menurut dia, RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law merupakan terobosan mempaduserasikan aturan di lapangan serta penyederhanaan regulasi.

Baca juga: Pakar: Segera sahkan RUU Cipta Kerja sebelum pandemi COVID-19 berlalu

"Industri kelapa sawit menghadapi persoalan tumpang tindih peraturan. Persoalan ini dapat teratasi melalui RUU Cipta Kerja karena terjadi overlapping regulasi di lapangan. Kami ingin kebijakan komprehensif dan berkelanjutan,” katanya

Dikatakannya, tantangan industri sawit adalah data khususnya peta (lahan) kerap terjadi tumpang tindih, atau peta batasnya yang jelas mana sehingga bisa diketahui mana lahan yang bisa untuk usaha dan mana yang tidak boleh untuk usaha.

"Persoalan ini sangat krusial. Di sinilah persoalan data ini dijawab di RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
 

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020