KPK memandang rekomendasi tersebut adalah solusi untuk memperbaiki inefisiensi dan menutup potensi penyimpangan (fraud)
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan Pemerintah terkait rekomendasi yang diberikan untuk menutupi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Pertama, KPK mendukung penuh tercapainya program pemerintah dalam menyelenggarakan "universal health coverage" dengan memastikan masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang ditunjang fasilitas kesehatan yang baik tanpa mengalami kesulitan finansial," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Iuran BPJS naik, NasDem ingatkan kajian KPK


Kedua, lanjut dia, beberapa alternatif solusi yang KPK sampaikan merupakan serangkaian kebijakan yang menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan yang diyakini jika dilakukan dapat menekan beban biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan sehingga tidak mengalami defisit.

Adapun rekomendasi yang diberikan sebagai berikut:

a. Pemerintah cq Kementerian Kesehatan agar menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
b. Melakukan penertiban kelas rumah sakit.
c. Mengimplementasikan kebijakan urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagaimana diatur dalam Permenkes 51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
d. Menerapkan kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik sebagai bagian dari upaya pencegahan.
e. Mengakselerasi implementasi kebijakan "coordination of benefit" (COB) dengan asuransi kesehatan swasta.
f. Terkait tunggakan iuran dari peserta mandiri, KPK merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik.

Ketiga, kata Ghufron, KPK memandang rekomendasi tersebut adalah solusi untuk memperbaiki inefisiensi dan menutup potensi penyimpangan (fraud) yang ditemukan KPK dalam kajian.

"Sehingga, kami berharap program pemerintah untuk memberikan manfaat dalam penyediaan layanan dasar kesehatan dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan menaikkan iuran yang akan menurunkan keikutsertaan rakyat pada BPJS kesehatan," ujarnya pula.
Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan naik, KPK berharap pemerintah tinjau kembali


Keempat, kata dia, KPK berkeyakinan jika rekomendasi KPK dijalankan terlebih dahulu untuk menyelesaikan persoalan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan akan dapat menutup defisit BPJS Kesehatan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang kembali menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan dengan subsidi iuran untuk peserta kelas III kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja.

Iuran peserta kelas I yang sebelumnya Rp80.000 naik menjadi Rp150.000, sedangkan kelas II yang sebelumnya Rp51.000 naik menjadi Rp100.000. Kenaikan diberlakukan mulai Juli 2020.

Sedangkan untuk iuran peserta kelas III yang sebelumnya Rp25.500 naik menjadi Rp42.000, tetapi khusus untuk peserta kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja disubsidi pemerintah Rp16.500, sehingga mereka tetap akan membayar iuran Rp25.500.

Namun, per Januari 2021, subsidi iuran dari pemerintah akan dikurangi menjadi Rp7.000, sehingga para peserta akan membayar iuran Rp35.000.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) juga telah mengabulkan gugatan terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Baca juga: KSPI kecam kenaikan iuran BPJS saat daya beli rakyat terpukul

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020