Jakarta (ANTARA) - Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) melaporkan pasar narkoba sintetis di Asia Timur dan Asia Tenggara terus berkembang dan semakin beragam, terutama dalam satu tahun terakhir.

Dalam laporan berjudul ‘Narkoba Sintetis di Asia Timur dan Tenggara: Perkembangan Terakhir dan Tantangan’ yang baru diluncurkan oleh UNODC, disebutkan bahwa harga metamfetamin, salah satu jenis narkoba sintetis, turun sampai ke tingkat terendah dalam sepuluh tahun terakhir seiring dengan peningkatan pasokan.

“Sulit untuk membayangkan bahwa sindikat kejahatan terorganisasi berhasil sekali lagi untuk memperluas pasar narkoba, namun itulah kenyataannya,” kata perwakilan UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Jeremy Douglas, dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Saat ini kala dunia mengalihkan perhatian ke pandemi COVID-19, semua indikator menunjukkan bahwa produksi dan perdagangan narkoba sintetis serta bahan baku atau bahan pendukung pembuatan obat-obatan (prekursor) meningkat ke rekor baru di kawasan, ia menambahkan.

Baca juga: Enam negara Asia rancang strategi perangi narkoba

Laporan UNODC tentang perkembangan narkoba sintetis di kawasan Asia Timur dan Tenggara itu juga menyebutkan penyitaan metamfetamin di kawasan terus meningkat dari tahun ke tahun selama satu dekade terakhir, suatu fenomena yang tidak ditemui di belahan dunia lain.

Negara-negara di kawasan telah mengonfirmasi penyitaan 115 ton metamfetamin pada 2019. Angka tersebut tidak termasuk data dari China, yang menyita rata-rata hampir 30 ton per tahun selama lima tahun terakhir.

Selain itu, Asia Timur dan Tenggara juga mengalami kenaikan stabil dalam peredaran opioid sintetis yang berbahaya. Pada 2019, terdapat 28 jenis opioid yang teridentifikasi dalam pasokan narkoba ilegal di kawasan. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan yang terbilang drastis dari tahun 2014, saat terdapat tiga jenis opioid yang teridentifikasi.

Tangkapan yang tercatat pada 2019 juga terjadi di lokasi-lokasi baru karena kelompok kejahatan terorganisasi terus berupaya mengembangkan bisnis gelap tersebut.

“Opioid sintetis seperti fentanyl dan jenis-jenis lain yang bahkan lebih berbahaya membutuhkan lebih banyak perhatian dibandingkan saat ini di kawasan,” kata Jeremy Douglas.

Baca juga: BNN : Indonesia pasar narkoba terbesar di Asia

Selain metamfetamin dan opioid sintetis, laporan UNODC juga mengonfirmasi keberadaan narkoba sintetis lainnya, termasuk pil ekstasi, ketamine, dan kanabinoid.

Kepala Bagian Laboratorium dan Ilmiah UNODC, Justice Tettey, mengatakan bahwa strategi-strategi di kawasan, bahkan di seluruh dunia, harus didasarkan pada pemahaman mengenai asal usul kimia dari narkoba sintetis, mengingat pasar narkoba sintetis di kawasan bergerak dinamis dan terus berubah.

“Itu sebabnya forensik dan kemampuan mengendalikan prekursor sangat diperlukan negara-negara dan kawasan untuk dapat merespons secara efektif,” kata dia.

UNODC sendiri telah bekerja sama dengan Thailand dan negara-negara lain di kawasan melalui Program Global SMART dan Nota Kesepahaman Mekong mengenai Pengendalian Narkoba untuk memantau situasi narkoba dan memberikan masukan bagi kerja sama, deteksi, pengendalian bahan kimia prekursor dan strategi kesehatan masyarakat, dan terutama untuk membantu negara-negara bekerja sama dalam operasi gabungan dan di perbatasan.

Baca juga: Survei: 90% warga Filipina dukung perang narkoba Duterte

Baca juga: Titik pemeriksaan COVID-19 di Irlandia bantu polisi sita narkoba

Baca juga: Polisi gagalkan peredaran 11 kilogram sabu di tengah pandemi COVID-19


 

Polisi dapati ratusan narkoba saat bubarkan kerumunan remaja

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020