Jakarta (ANTARA) - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta pemerintah tidak menggunakan istilah New Normal atau normal baru agar tidak membingungkan masyarakat.

"Istilah New Normal bisa membingungkan para buruh dan masyarakat kecil di Indonesia. Sebab jika diberi sedikit kelonggaran, yang terjadi di masyarakat justru akan semakin banyak yang dikerjakan. Akhirnya hal ini justru kembali meningkatkan jumlah masyarakat yang positif terpapar COVID-19," ujar Iqbal di Jakarta, Kamis.

Dia menambahkan saat ini saat masih diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) banyak yang tidak patuh. Apalagi jika diberikan kelonggaran.

KSPI menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan istilah New Normal. Tetapi tetap menggunakan istilah pembatasan fisik yang terukur. Misalnya, untuk kalangan buruh yang bekerja di perusahaan diliburkan secara bergilir untuk mengurangi keramaian di tempat kerja.

Baca juga: Presiden minta segera disusun standar baru sektor pariwisata

Baca juga: Kenormal Baru dominasi berita kemarin mulai pengamanan hingga protokol


"Dengan jumlah orang yang keluar rumah untuk bekerja berkurang, maka pembatasan fisik lebih mudah dijalankan. Inilah yang terukur. Sehingga disamping panyebaran pandemi COVID-19 bisa ditekan, ekonomi bisa tetap bergerak dan tumbuh," kata dia.

KSPI menilai bahwa kebijakan New Normal kurang tepat. Setidaknya ada lima alasan mengapa hal itu kurang tepat. Pertama, jumlah orang yang positif corona masih terus meningkat. Bahkan pertambahan orang yang positif, setiap hari jumlahnya masih mencapai ratusan.

Kedua, sejumlah buruh yang tetap bekerja, tetapi akhirnya positif terpapar corona. Hal ini bisa dilihat, misalnya di PT Denso Indonesia dan PT Yamaha Music, ada yang meninggal akibat positif terpapar COVID-19. Begitu juga di Sampoerna dan PEMI Tangerang, dilaporkan ada buruh yang OPD, PDP, bahkan positif.

Ketiga, saat ini sudah banyak pabrik yang merumahkan dan melakukan PHK akibat bahan baku material impor makin menipis dan bahkan tidak ada. Seperti yang terjadi di industri tekstil, bahan baku kapas makin menipis.

Di industri otomotif dan elekrtonik, suku cadang makin menipis. Di industri farmasi, bahan baku obat juga makin menipis. Sementara di industri pertambangan, jumlah ekspor bahan baku menurun.

"Fakta ini menjelaskan, kenormalan baru tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku,” kata Said Iqbal.

Keempat, PHK besar-besaran yang terjadi di industri pariwisata, UMKM, dan sepinya order yang diterima transportasi online hingga kini belum ada solusi. Bahkan di industri manufaktur, ancaman PHK terhadap ratusan ribu buruh sudah di depan mata.

Kelima, tanpa kenormalan baru pun sebenarnya masih banyak perusahaan yang masih meminta buruhnya tetap bekerja. Dengan demikian, yang dibutuhkan para buruh dan pengusaha adalah regulasi dan strategi untuk memastikan bahan baku impor bisa masuk dan selalu tersedia di industri.

"Di sisi lain penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar, karena sebagian perusahaan meliburkan karyawan atau melakukan PHK akibat profit perusahaan menipis bahkan negatif dikarenakan mereka harus membeli bahan baku dari impor dengan harga dolar dan menjual dengan rupiah yang sudah terpuruk," kata Iqbal lagi.*

Baca juga: PT PPI jalankan proses bisnis sesuai protokol normal baru

Baca juga: Hadapi normal baru, Kementerian PUPR sempurnakan "e-learning"

Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020