Jakarta (ANTARA) - Koordinator peneliti Imparsial, Ardimanto Adiputra menyebutkan pengerahan militer dalam menangani terorisme seperti yang tertuang dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) harus dilakukan dengan ketat dan selektif.

Ardimanto, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, menegaskan bahwa rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam menangani aksi terorisme bukanlah solusi, karena negara tidak sedang dalam kondisi gawat terorisme.

Namun dia mengakui bahwa TNI dibutuhkan dalam penanganan terorisme, tetapi sifatnya hanya membantu, khususnya di daerah-daerah tertentu yang memiliki medan berat, seperti hutan belantara.

"Pelibatan TNI dalam menghadapi terorisme di dalam negeri saat ini belum urgent, baru sebatas supporting (perbantuan) kepada institusi penegak hukum, itu pun hanya untuk kasus tertentu seperti di Poso mengingat area operasinya adalah hutan belantara dimana aparat penegak hukum tidak terlatih untuk itu. Dalam operasi terorisme di Poso, pelibatan TNI sudah benar," jelas Ardimanto.

Baca juga: Akademisi: Penanganan terorisme oleh TNI harus ada keputusan politik

Kendati demikian, keterlibatan TNI dalam kasus tertentu penanganan terorisme masih ada yang cacat prosedural. Ia mencontohkan perbantuan penanganan teror oleh TNI di Poso tanpa ada keputusan politik melibatkan DPR.

"Proses pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, termasuk di Poso, terdapat cacat prosedural. Seharusnya pelibatan tersebut dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR sebagai fungsi check and balances (Pasal 7 ayat 3 UU TNI). Hal ini diperlukan agar ada akuntabilitas penggunaan alat tempur negara (militer) yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.

Baca juga: Komnas HAM tanggapi Rancangan Perpres TNI atasi terorisme

Pada prinsipnya, katanya, pengerahan atau penggunaan militer dalam sebuah operasi, termasuk terorisme, harus dilakukan secara ketat dan selektif.

Rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang beredar saat ini dinilainya bertentangan dengan UU TNI (Pasal 7 ayat 2 dan 3). Perpres tersebut mempertegas tak diperlukannya pengawasan oleh parlemen. Bahkan Perpres tersebut rentan terjadi penyalahgunaan anggaran karena minim akuntabilitas.

"Karena menghilangkan kewajiban adanya keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR. Selain itu rancangan Perpres juga bertentangan dengan UU TNI tentang sumber anggaran dapat digunakan untuk penanganan terorisme oleh TNI dapat bersumber selain APBN, yakni APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat," kata Ardimanto.

Baca juga: Perpres TNI tangani terorisme gentarkan kelompok radikal

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020