masalah mengenai harga, kerumitan dan sebagainya segera diselesaikan untuk bisa membuat pergerakan publik menjadi lebih nyaman, aman dan tidak terkendala.
Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden mengungkapkan bahwa harga atau biaya tes PCR atau rapid test COVID-19 yang kurang terjangkau akan menjadi perhatian pemerintah pada  masa "new normal".

"Kendala-kendala di lapangan seperti harga tes PCR yang terlalu tinggi saya kira akan menjadi suatu hal yang akan diperhatikan agar pergerakan masyarakat lebih lancar," ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian dalam diskusi daring di Jakarta, Sabtu.

Donny mengatakan bahwa persoalan teknis terkait harga tes COVID-19 ini akan menjadi perhatian, namun yang paling penting adalah siapapun yang akan bepergian harus dalam kondisi sehat dan aman. Dengan demikian masyarakat tidak dilarang untuk bepergian asalkan syarat-syarat tersebut dipenuhi.

Baca juga: Doni Monardo: Akan ada standarisasi harga tes PCR

"Apabila syarat tersebut terlalu mahal atau berat, tentu saja akan disesuaikan. Yang paling penting adalah tidak dibatasi pergerakan, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor kesehatan supaya tidak terjadi penyebaran. Ini yang paling penting," kata Tenaga Ahli KSP tersebut.

Donny mengatakan bahwa masalah mengenai harga, kerumitan dan sebagainya segera diselesaikan untuk bisa membuat pergerakan publik menjadi lebih nyaman, aman dan tidak terkendala.

"Memang ini tidak mudah, memasuki masa new normal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasti banyak kendala dan persoalan-persoalan di lapangan. Oleh karena itu evaluasi dan monitoring menjadi sangat penting supaya Indonesia tidak lagi kecolongan seperti Korea Selatan yang mengalami gelombang kedua corona dan pada akhirnya memperketat kembali aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilonggarkan," ujarnya.

Baca juga: Legislator dukung target 20.000 tes PCR COVID-19 per hari

Pernyataan Donny tersebut disampaikan saat menanggapi usulan dari sejumlah asosiasi pengusaha yang menginginkan harga tes PCR atau rapid test COVID-19 menjadi terjangkau, serta syarat tes OVID-19 tidak ditambah-tambahi dan diwajibkan oleh pemerintah daerah sehingga pelaku usaha yang hendak menjalankan protokol kesehatan yang sudah disusun sedemikian bagus dan ketat oleh pemerintah pusat malah terbebani oleh aturan-aturan tambahan dari pemerintah daerah tersebut.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Organisasi Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengusulkan kepada pemerintah agar harga tes PCR tidak terlalu mahal.

"Kalau bisa harganya cukup di bawah Rp100.000 atau Rp200.000, kisaran harga ini untuk tes PCR mungkin masih masuk akal," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengusulkan agar kebijakan pusat dan daerah lebih sinkron, misalnya pemerintah pusat sudah menyusun protokol kesehatan sedemikian rapi dan bagus untuk dijalankan oleh industri namun oleh pemerintah daerah malah ditambah-tambahkan dengan berbagai aturan lainnya seperti pelaku industri wajib melakukan rapid test atau tes cepat secara massal.

Baca juga: Bos Garuda keluhkan tes PCR lebih mahal ketimbang tiket pesawat

Padahal, menurut Adhi, rapid test itu sebetulnya belum tentu menunjukkan orang tersebut positif COVID-19, selain itu tes ini juga harus dilakukan tidak hanya sekali melainkan harus beberapa kali.

"Kondisi pelaku industri atau pabrik tidak mungkin bisa melakukan syarat tes semacam itu, apalagi industri yang bersifat musiman di mana karyawannya berstatus kontrak. Tentunya pelaku industri sangat keberatan dengan aturan rapid test yang ditambahkan pemerintah daerah, karena pengusaha tidak mungkin menanggung biaya tersebut sendirian," ujar Adhi Lukman.

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020